Monday, February 4, 2013

Hak Cipta


Frasa hak cipta terdiri dari dua kata, yakni hak dan cipta. Sehingga, dapat diartikan hak cipta adalah hak yang dimiliki seorang pencipta atas suatu ciptaannya. Ciptaan adalah hasil setiap karya pencipta dalam bentuk yang khas dan menunjukkan keasliannya dalam lapangan ilmu pengetahuan, seni dan sastra.
Pada awal mulanya istilah untuk hak cipta yang dikenal adalah hak pengarang sesuai dengan terjemahan harfiah bahasa Belanda, yakni Auteursrecht. Baru pada Kongres Kebudayaan Indonesia ke-2, Oktober 1951 di Bandung, penggunaan istilah hak pengarang dipersoalkan karena dipandang menyempitkan pengertian hak cipta. Jika istilah yang dipakai adalah hak pengarang, seolah-olah yang diatur hak cipta hanyalah hak-hak dari pengarang saja dan hanya bersangkut paut dengan karang mengarang saja, sedangkan cakupan hak cipta jauh lebih luas dari hak-hak pengarang. Oleh karena itu, Kongres Kebudayaan Indonesia pada saat itu memutuskan untuk mengganti istilah hak pengarang dengan istilah hak cipta. Istilah ini merupakan istilah yang diperkenalkan oleh ahli bahasa Soetan Moh. Syah dalam suatu makalah pada waktu Kongres. Menurutnya, terjemahan Auteursrecht adalah Hak Pencipta, tetapi untuk tujuan penyederhanaan dan kepraktisan disingkat menjadi Hak Cipta.
Beranjak dari terminologi hak cipta, hak cipta itu sendiri timbul karena ada pencipta dan ada suatu karya cipta atau ciptaan. Dari mana ciptaan itu lahir? Mengutip kalimat yang tertulis pada langit-langit kubah atap bangunan Markas Besar WIPO di Geneva yang dirangkum oleh Arpad Bogsch, Direktur Jenderal WIPO yang dibaca oleh Eddy Damian pada kunjungan penelitiannya ke Geneva, tertulis sebagai berikut:
Human genius is the source of all works, of art and inventions. These works are the guarantee of a life worthy of men. It is the duty of the state to ensure with diligence the protection of the arts and inventions.

Berangkat dari kerangka pemikiran bahwa ciptaan merupakan hasil intelektual (human genius) atau olah pikir manusia, sudah sewajarnya apabila negara menjamin sepenuhnya perlindungan terhadap segala macam ciptaan yang merupakan karya intelektual manusia. Dasar pemikiran perlu adanya perlindungan hukum terhadap ciptaan ini tidak terlepas dari dominasi pemikiran Doktrin Hukum Alam yang menekankan pada faktor manusia dan penggunaan akal seperti yang dikenal dalam Civil Law system yang merupakan sistem hukum yang dianut di Indonesia.
Sistem perlindungan hak cipta ini memberikan perlindungan terhadap nilai ekonomis suatu ciptaan ketika dilakukan eksploitasi terhadap suatu ciptaan dengan cara menggandakan (copying), pertunjukan secara publik (public performance), pengumuman atau penggunaan lainnya. Hak cipta yang juga dikenal dalam bahasa Inggris sebagai copyright juga meliputi sejumlah hak sebagaimana diatur dalam hukum yang berlaku. Diharapkan dengan adanya perlindungan secara hukum terhadap hak cipta, pencipta dapat menikmati nilai ekonomis dari ciptaannya secara optimal.
Telah disebutkan sebelumnya bahwa hak cipta ini berkaitan erat dengan intelektualitas manusia berupa hasil kerja otak. Akan tetapi, lebih jauh dijelaskan oleh Hulman Panjaitan dan Wetmen Sinaga bahwa hak cipta hanya diberikan kepada ciptaan yang sudah berwujud atau berupa ekspresi yang sudah dapat dilihat, dibaca, didengarkan dan sebagainya. Ditegaskan bahwa hukum hak cipta tidak melindungi ciptaan yang masih berupa ide. Agar mendapat perlindungan hak cipta, suatu ide perlu diekspresikan terlebih dahulu. Ide yang masih abstrak dan belum pernah diekspresikan tidaklah dilindungi oleh hukum hak cipta. Berikut penjelasan Hulman Panjaitan dan Wetmen Sinaga:
“Dapat ditegaskan bahwa adanya suatu bentuk yang nyata dan berwujud (expression) dan sesuatu yang berwujud itu adalah asli (original) atau bukan hasil plagiat merupakan syarat yang harus dipenuhi untuk dapat menikmati perlindungan hukum hak cipta. Sebuah lagu (ada syair dan melodi) yang dinyanyikan seseorang secara spontan dan kemudian suara dan syair yang terucapkan hilang ditelan udara tidak mendapat hak cipta. Akan tetapi, kalau lagu itu direkam (dalam pita rekaman) atau dituliskan dan terbukti tidak sebagai jiplakan, barulah mendapat perlindungan hak cipta.”
 Indonesia memang menganut sistem hukum Civil Law, namun dalam hal perlindungan terhadap hak cipta ini, secara universal negara-negara dengan sistem common law maupun civil law pada dasarnya menggunakan prinsip-prinsip dasar yang sama dalam memberikan perlindungan hak cipta. Kedua sistem ini mendasarkan teorinya pada penggunaan akal atau nalar sehingga hukum dianggap sebagai karya akal atau nalar.
Beberapa prinsip yang sama dalam sistem hukum common law maupun civil law terkait dengan perlindungan hak cipta antara lain:
1.        Yang dilindungi hak cipta adalah ide yang telah berwujud dan asli.
Dari prinsip ide yang berwujud atau fixation of idea ini dapat diperoleh beberapa prinsip turunan, yaitu: 
a.     Suatu ciptaan harus mempunyai keaslian (nilai orisinalitas) untuk seorang pencipta dapat menikmati hak-hak yang diberikan undang-undang. Unsur keaslian ini sangat erat hubungannya dengan bentuk perwujudan suatu ciptaan. Oleh karena itu, suatu ciptaan baru dapat dianggap asli jika bentuk perwujudannya bukanlah merupakan jiplakan (plagiat) dari ciptaan lain yang telah diwujudkan sebelumnya. Terkait keaslian suatu ciptaan ini, seorang penulis Belanda, Herald D.J. Jongen mengemukakan sebagai berikut:
“Article 10 of the Copyright Act (the Netherlands) provides that works are all literary, scientific or artistic products. Although Copyright Act does not mention any condition for protection, only “original” products are considered works. The only exception to this rule are writings which are protected even in the absence of any originality.”

  1. Suatu ciptaan, mempunyai hak cipta jika ciptaan yang bersangkutan diwujudkan (fixation) dalam bentuk tulisan atau bentuk material yang lain. Hal ini berarti bahwa suatu ide yang tidak diwujudkan dan hanya berupa ide saja belum dapat dikatakan sebagai suatu ciptaan dan belum dilindungi oleh hak cipta.
  2. Hak cipta merupakan hak eksklusif dari pencipta atau penerima hak cipta untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya (sesuai Pasal 2 ayat [1] UUHC). Ini berarti tidak ada orang lain yang boleh mengumumkan atau memperbanyak suatu ciptaan tanpa izin dari pencipta atau penerima hak cipta. Dengan kata lain, hak ekslusif ini mengandung pengertian “monopoli terbatas” terhadap suatu ciptaan.

2.        Hak cipta timbul dengan sendirinya (otomatis)
Pendaftaran suatu ciptaan ke Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual bukanlah suatu keharusan untuk suatu ciptaan mendapat perlindungan. Namun, memang jika pendaftaran ini dilakukan akan lebih memudahkan pembuktian kepemilikan hak cipta oleh pencipta jika suatu hari terjadi sengketa kepemilikan hak cipta atas suatu ciptaan. Misalnya, jika suatu hari ada orang lain yang mengklaim ciptaan buku X adalah ciptaannya, padahal A adalah penciptanya dan sudah mendaftarkannya. Terhadap sengketa ini akan lebih mudah pembuktiannya mengenai siapa pencipta sesungguhnya dari buku X. Hal itu berarti suatu ciptaan baik yang terdaftar maupun yang tidak terdaftar tetap dilindungi.

3.        Suatu ciptaan tidak selalu perlu diumumkan untuk memperoleh hak cipta.
Terhadap suatu ciptaan, baik diumumkan atau tidak diumumkan, keduanya dapat memperoleh perlindungan hak cipta. Contohnya, ketika seorang pelukis membuat suatu lukisan dan hanya disimpan di kamarnya tanpa dipertunjukkan atau dipamerkan, pelukis tersebut memegang hak cipta atas lukisan tersebut. Contoh lain untuk ciptaan yang hak ciptanya baru timbul ketika ciptaan itu diumumkan adalah  pada lay out karya tulis (typhograpgical arrangement) (Pasal 12 [1] a UUHC). Yang dimaksud dengan typhograpgical arrangement adalah aspek seni atau estetika pada susunan dan bentuk karya tulis yang mencakup antara lain format, hiasan, warna dan susunan atau tata letak huruf yang secara keseluruhan menampilkan wujud yang khas yang biasanya dikerjakan/diciptakan oleh penerbit sebuah buku. Suatu typhographical arrangement baru dilindungi hak ciptanya setelah penerbitan dilakukan (dalam hal ini berarti dilakukan pengumuman).
4.        Hak cipta suatu ciptaan merupakan suatu hak yang diakui hukum (legal right) yang harus dipisahkan dan harus dibedakan dari penguasaan fisik suatu ciptaan. Yang dimaksud dalam poin ini akan dijelaskan melalui contoh, yakni, Anton membeli sebuah kaset berisi lagu dari penyanyi ternama, bukan berarti Anton adalah pemilik hak cipta karena membeli karya lagu tersebut. Jika Anton memperbanyak lagu dan dijual untuk kepentingan komersial, maka Anton melanggar hak cipta.

5.        Hak cipta bukan hak mutlak (absolut)
Disebutkan dalam Pasal 1 ayat (1) UUHC bahwa:
Hak Cipta adalah hak eksklusif bagi Pencipta atau penerima hak untuk mengumumkan atau memperbanyak Ciptaannya atau memberikan izin untuk itu dengan tidak mengurangi pembatasan-pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.”
           
Dapat kita lihat dari ketentuan tersebut di atas bahwa hak cipta bukanlah bersifat absolut, karena hak cipta juga dibatasi oleh undang-undang. Selain itu, hak cipta juga tidak menganut monopoli mutlak, tapi hanya menganut monopoli terbatas. Hal ini dikarenakan adanya kemungkinan terjadinya suatu ciptaan yang diciptakan pada waktu yang sama dan merupakan ciptaan yang sama. Dalam hal yang demikian, tidak terjadi pelanggaran hak cipta.


3 comments:

  1. Salam, terima kasih untuk sharing artikelnya, sangat bermanfaat. Namun saya mohon izin menanyakan beberapa hal kepada Ibu Diana. Saya mempunyai sebuah ide untuk membuat program berupa Tabungan Pendidikan. Program ini ditujukan bagi siswa yang akan melanjutkan pendidikan lebih lanjut. Jadi para siswa akan menabung dan dalam jangka waktu tertentu uang tabungannya tersebut dapat diambil. Tujuan program ini adalah guna membantu biaya masuk pada tingkatan pendidikan yang lebih tinggi agar tidak membebani orang tua siswa. Jadi, ketika siswa hendak melanjutkan pendidikannya ia sudah memiliki tabungan untuk biaya pendidikannya lebih lanjut. Program ini sudah saya susun sedemikian rupa hingga teknis pelaksanaannya. Pertanyaannya, apakah program yang saya maksudkan merupakan suatu ciptaan yang dapat diberikan perlindungan hukum? Bila saya menggandeng suatu perusahaan untuk bekerja sama menjalankan program tersebut, apakah saya berhak mendapatkan royalti atau suatu nilai kontrak tertentu? Atas pencerahan Ibu saya ucapkan terima kasih.

    ReplyDelete
  2. Salam.

    Patut diketahui, berdasarkan UU Hak Cipta, Ciptaan yang dilindungi adalah Ciptaan dalam bidang ilmu pengetahuan, seni, dan sastra, yang mencakup:
    a. buku, Program Komputer, pamflet, perwajahan (lay out) karya tulis yang diterbitkan,
    dan semua hasil karya tulis lain;
    b. ceramah, kuliah, pidato, dan Ciptaan lain yang sejenis dengan itu;
    c. alat peraga yang dibuat untuk kepentingan pendidikan dan ilmu pengetahuan;
    d. lagu atau musik dengan atau tanpa teks;
    e. drama atau drama musikal, tari, koreografi, pewayangan, dan pantomim;
    f. seni rupa dalam segala bentuk seperti seni lukis, gambar, seni ukir, seni kaligrafi, seni pahat, seni patung, kolase, dan seni terapan;
    g. arsitektur;
    h. peta;
    i. seni batik;
    j. fotografi;
    k. sinematografi;
    l. terjemahan, tafsir, saduran, bunga rampai, database, dan karya lain dari hasil pengalihwujudan.
    Jadi, program yang Anda maksudkan menurut hemat saya tidak termasuk dalam Ciptaan yang dilindungi berdasarkan UU Hak Cipta.

    ReplyDelete
  3. trimakasih infonya sangat menarik,,
    bermanfaat sekali,,
    mantap,,

    ReplyDelete