Wednesday, March 7, 2012

POVERTY

Developing countries as our own country Indonesia is facing many major classic problems, and one of the greatest is POVERTY.

Not to mention, debt and corruption worsen the situation.

Based on World Bank's research result on poverty rate reported in 2008 at least 80% humanity lives on less than $1 a day. This number is based on Purchasing Power Parity which taken generally from many countries.


According to UNICEF, 24.000 children die each day due to poverty.
Around 27-28% of all children in developing countries are estimated to be underweight.
Nearly a billion people entered the 21st century unable to read a book or even sign their names.
The list is going on and on...
We surely can not turn a blind eye to those facts.

Former Secretary-General Kofi Annan said as he called for progress on human development to go hand in hand with advances in security and human rights.


In a message marking International Human Rights Day, whose theme is that fighting poverty should be a matter of obligation and not charity, Mr. Annan said that “if we are to be serious about human rights, we must demonstrate that we are serious about deprivation.”

Mr. Annan said the world's poorest are the people least capable of achieving or defending rights – such as to a decent standard of living or to food and essential health care – that others take for granted.

“We must all recognize that wherever families eke out an existence on less than a dollar a day, or children die for lack of basic yet life-saving care, the Declaration has, at best, a hollow ring,” he said.
Fighting poverty is not an individual fight, it is our duty that we should work hand in hand to reduce it.

As we may aware, poverty is in the mindset. If you can change the mindset of the people, to change the paradigm, to change how they act and see things, they will surely change their fate and get out of the poverty chain. Empowering people with skills and knowledge, no debt, no corruption even from the smallest scale of action, will be an excellent start to reduce poverty rate. It begins with our willingness to change and to help others. 

Diskriminasi = Perpecahan

Masa kecilku bahagia. Ya, bisa kukatakan begitu.
Aku tidak kekurangan suatu apapun, keluargaku harmonis, aku bisa bermain dan belajar, semua sesuka hati.
Tapi, itu kurasakan di dalam kotak yang kita sebut dengan "rumah".
Lalu, apa yang kurasakan di luar? Salah satunya, diskriminasi :)

Aku dibesarkan di kabupaten kecil, namanya Kabupaten Lumajang, di wilayah Jawa Timur. Kabupaten yang tenteram, lengang, habis dikelilingi dalam waktu 15 menit (jika berkendara dengan mobil). Bisa dibayangkan betapa kecilnya ;)
Seingatku, semasa kecilku, aku menghadapi apa yang namanya diskriminasi. Bisa ditebak, karena aku keturunan Tionghoa, sebagian orang mendiskriminasikanku. Mata sipit dan kulit kuning langsat menjadikanku anak yang dibedakan. Disini aku akan menceritakan sebagian dari apa yang aku alami.

Seringkali di jalan menuju ke sekolah, anak-anak di lingkungan sekitar rumahku mengejekku "Cino! Cino! (Cino = Cina dalam bahasa Jawa). Ada juga yang mengejek dengan sebutan Singkek, yang aku sendiri tidak tahu artinya. Dan masih banyak ejekan lainnya, yang dengan berjalannya waktu, telingaku menjadi terbiasa dengan ejekan-ejekan itu.

Pernah pula suatu kali, sepulang sekolah aku "dipalak" oleh seorang anak laki-laki dari daerah sekitar rumahku. Dia menghadangku di jalan, memegang kerah seragamku dan mengangkatnya. Meskipun waktu kecil aku kurus, (sekarang juga sih :p), tapi anak itu tidak bisa benar-benar mengangkatku, karena dia juga masih kecil. Anak laki-laki itu berusaha meminta uang sakuku dengan mengancamku. Di wilayahku, umumnya, korban "pemalakan" ini adalah anak-anak keturunan Tionghoa.

Pada lain waktu, di suatu sore, ketika aku sedang naik becak (kendaraan umum beroda tiga) lewatlah sebuah truk yang mengangkut banyak sekali anak laki-laki. Ketika mereka melewati becak yang aku tumpangi, ada seorang anak melihatku. Tapi, dia tidak hanya melihat ke arahku dengan pandangan tidak suka, dia juga meludahi mukaku. Aku pulang, tapi tidak menangis. Juga tidak mengadu pada orang tua. 

Itu sebagian kecil dari yang mungkin bisa dialami oleh orang-orang keturunan Tionghoa di negeri ini. Dan tentunya peristiwa yang paling memilukan adalah peristiwa Mei 1998. 

Dalam hati kecilku, aku sedih, sekaligus marah. Marah bukan karena diejek dan diludahi, tapi marah karena pandangan kebanyakan orang yang salah. Siapa yang bilang kami orang Cina? Kami juga orang Indonesia. Kami Warga Negara Indonesia! Meskipun ada darah Tionghoa mengalir di tubuhku, tapi aku lahir dan dibesarkan di Indonesia, aku makan dari hasil bumi Indonesia. Bahkan aku belum pernah ke negeri Cina dan belum bisa berbahasa Cina (setidaknya hingga saat ini). Sedih, karena kami dipandang "berbeda". Dan tidak dapat dipungkiri, banyak kesempatan di dunia politik, pemerintahan, dan organisasi maupun lembaga tertentu masih tertutup untuk kami warga negara Indonesia keturunan Tionghoa. 

Konstitusi maupun peraturan perundang-undangan yang ada memang telah memberikan perlindungan terhadap hak setiap warga negara, termasuk bagi keturunan Tionghoa. Mulai dari UUD 1945, UU 39/1999 tentang HAM, UU 26/2000 tentang Pengadilan HAM, UU 40/2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Etnis dan Ras hingga pengesahan instrumen-instrumen HAM internasional. Akan tetapi, apakah implementasinya sempurna? Tentu tak ada gading yang tak retak. Masih ada kekurangan disana sini. Terutama, karena masih adanya sebagian kalangan yang berpandangan diskriminatif.

Tapi, disini yang ingin aku sampaikan adalah, kami tidak bermaksud memandang diri kami lebih tinggi atau lebih rendah. Kami, kita, semuanya adalah bangsa Indonesia, yang katanya sekaligus sesungguhnya adalah Bhinneka Tunggal Ika. Kami ada di dalamnya, bersama kalian semua. Kami juga ingin negara ini menjadi lebih baik.

Meski berbeda secara fisik, kita semua ciptaan Tuhan. Persatuanlah yang akan membawa bangsa ini lebih baik, bukan perpecahan dan diskriminasi. Semoga semuanya menjadi lebih baik di masa depan, mulai dari masa kini :) 

Adakah Daluarsa Pembayaran Fee Advokat?

Pada dasarnya, dari peraturan perundang-undangan yang ada, tidak ada ketentuan mengenai daluarsa dari pembayaran honorarium advokat.

Dijelaskan dalam Pasal 1 angka 7 UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat (“UU Advokat”), honorarium adalah imbalan atas jasa hukum yang diterima oleh Advokat berdasarkan kesepakatan dengan Klien.

Lebih jauh mengenai honorarium advokat ini diatur dalam Pasal 21 UU Advokat yang berbunyi:

1)     Advokat berhak menerima Honorarium atas Jasa Hukum yang telah diberikan kepada Kliennya.
2)     Besarnya Honorarium atas Jasa Hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan secara wajar berdasarkan persetujuan kedua belah pihak.”

Hubungan antara advokat dengan kliennya ini biasanya dituangkan dalam bentuk suatu kontrak/perjanjian untuk mengatur kesepakatan/persetujuan yang terjadi di antara advokat dan kliennya. Kontrak ini menjelaskan hak dan kewajiban kedua belah pihak, termasuk lingkup kerja yang harus dilakukan oleh advokat dan besarnya honorarium yang akan diterima advokat. Di dalam Kontrak tersebut juga bisa diatur mengenai penyelesaian sengketa yang mungkin timbul di kemudian hari antara klien dengan advokat, juga tentang uang jasa dan kerugian yang mungkin ditanggung oleh klien.

Atas dasar kontrak tersebut, klien dapat menggugat advokat apabila di kemudian hari advokat tersebut tidak melaksanakan atau lalai dalam melaksanakan tugasnya sebagaimana ditentukan dalam kontrak sehingga akhirnya mengakibatkan kerugian bagi klien.

Demikian pula sebaliknya, jika klien tidak memenuhi prestasinya untuk membayar honorarium yang telah disepakati, advokat dapat menggugat kliennya (Pasal 1365 dan 1366 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata –KUHPerdata”). Lebih jauh simak artikel Perjanjian Jasa Pengacara Terhadap Klien.

Jadi, jika advokat telah memenuhi prestasinya sebagaimana telah diatur dalam kontrak penggunaan jasa advokat, namun kemudian klien (dalam hal ini perusahaan yang Anda sebutkan) tidak mau memenuhi kewajibannya untuk membayar honorarium advokat, hal ini dapat menjadi dasar bagi advokat untuk menggugat atas dasar wanprestasi (lihat Pasal 1243 KUHPerdata) tanpa melihat berapa lama telah lewat waktu sejak pekerjaan tersebut dilakukan. Simak juga artikel kami Doktrin Gugatan Wanprestasi dan PMH.

Biaya honorarium advokat yang terutang ini sifatnya seperti utang-piutang pada hukum perdata karena didasarkan pada kesepakatan, sehingga memang harus dibayar/dilunasi.

Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
Dasar hukum:
1.   Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek, Staatsblad 1847 No. 23);
Published at Hukumonline.com