Wednesday, March 7, 2012

Diskriminasi = Perpecahan

Masa kecilku bahagia. Ya, bisa kukatakan begitu.
Aku tidak kekurangan suatu apapun, keluargaku harmonis, aku bisa bermain dan belajar, semua sesuka hati.
Tapi, itu kurasakan di dalam kotak yang kita sebut dengan "rumah".
Lalu, apa yang kurasakan di luar? Salah satunya, diskriminasi :)

Aku dibesarkan di kabupaten kecil, namanya Kabupaten Lumajang, di wilayah Jawa Timur. Kabupaten yang tenteram, lengang, habis dikelilingi dalam waktu 15 menit (jika berkendara dengan mobil). Bisa dibayangkan betapa kecilnya ;)
Seingatku, semasa kecilku, aku menghadapi apa yang namanya diskriminasi. Bisa ditebak, karena aku keturunan Tionghoa, sebagian orang mendiskriminasikanku. Mata sipit dan kulit kuning langsat menjadikanku anak yang dibedakan. Disini aku akan menceritakan sebagian dari apa yang aku alami.

Seringkali di jalan menuju ke sekolah, anak-anak di lingkungan sekitar rumahku mengejekku "Cino! Cino! (Cino = Cina dalam bahasa Jawa). Ada juga yang mengejek dengan sebutan Singkek, yang aku sendiri tidak tahu artinya. Dan masih banyak ejekan lainnya, yang dengan berjalannya waktu, telingaku menjadi terbiasa dengan ejekan-ejekan itu.

Pernah pula suatu kali, sepulang sekolah aku "dipalak" oleh seorang anak laki-laki dari daerah sekitar rumahku. Dia menghadangku di jalan, memegang kerah seragamku dan mengangkatnya. Meskipun waktu kecil aku kurus, (sekarang juga sih :p), tapi anak itu tidak bisa benar-benar mengangkatku, karena dia juga masih kecil. Anak laki-laki itu berusaha meminta uang sakuku dengan mengancamku. Di wilayahku, umumnya, korban "pemalakan" ini adalah anak-anak keturunan Tionghoa.

Pada lain waktu, di suatu sore, ketika aku sedang naik becak (kendaraan umum beroda tiga) lewatlah sebuah truk yang mengangkut banyak sekali anak laki-laki. Ketika mereka melewati becak yang aku tumpangi, ada seorang anak melihatku. Tapi, dia tidak hanya melihat ke arahku dengan pandangan tidak suka, dia juga meludahi mukaku. Aku pulang, tapi tidak menangis. Juga tidak mengadu pada orang tua. 

Itu sebagian kecil dari yang mungkin bisa dialami oleh orang-orang keturunan Tionghoa di negeri ini. Dan tentunya peristiwa yang paling memilukan adalah peristiwa Mei 1998. 

Dalam hati kecilku, aku sedih, sekaligus marah. Marah bukan karena diejek dan diludahi, tapi marah karena pandangan kebanyakan orang yang salah. Siapa yang bilang kami orang Cina? Kami juga orang Indonesia. Kami Warga Negara Indonesia! Meskipun ada darah Tionghoa mengalir di tubuhku, tapi aku lahir dan dibesarkan di Indonesia, aku makan dari hasil bumi Indonesia. Bahkan aku belum pernah ke negeri Cina dan belum bisa berbahasa Cina (setidaknya hingga saat ini). Sedih, karena kami dipandang "berbeda". Dan tidak dapat dipungkiri, banyak kesempatan di dunia politik, pemerintahan, dan organisasi maupun lembaga tertentu masih tertutup untuk kami warga negara Indonesia keturunan Tionghoa. 

Konstitusi maupun peraturan perundang-undangan yang ada memang telah memberikan perlindungan terhadap hak setiap warga negara, termasuk bagi keturunan Tionghoa. Mulai dari UUD 1945, UU 39/1999 tentang HAM, UU 26/2000 tentang Pengadilan HAM, UU 40/2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Etnis dan Ras hingga pengesahan instrumen-instrumen HAM internasional. Akan tetapi, apakah implementasinya sempurna? Tentu tak ada gading yang tak retak. Masih ada kekurangan disana sini. Terutama, karena masih adanya sebagian kalangan yang berpandangan diskriminatif.

Tapi, disini yang ingin aku sampaikan adalah, kami tidak bermaksud memandang diri kami lebih tinggi atau lebih rendah. Kami, kita, semuanya adalah bangsa Indonesia, yang katanya sekaligus sesungguhnya adalah Bhinneka Tunggal Ika. Kami ada di dalamnya, bersama kalian semua. Kami juga ingin negara ini menjadi lebih baik.

Meski berbeda secara fisik, kita semua ciptaan Tuhan. Persatuanlah yang akan membawa bangsa ini lebih baik, bukan perpecahan dan diskriminasi. Semoga semuanya menjadi lebih baik di masa depan, mulai dari masa kini :) 

3 comments:

  1. Hai sist, izin comment yah :

    Mohon dimaafkan saja, itu hanya cara berfikir orang2 yang belum dewasa, yang belum menghargai perbedaan..

    Bukan berniat untuk mencari pembenaran/alasan, tapi terkadang saya sendiri juga sering merasa ada org2 dr suatu golongan (selain Mba Hana tentunya) yang pandangannya mungkin berbeda terhadap orang2 dr golongan lain (misal: pribumi), tapi sekali lagi sy hanya bisa memaklumkan saja, krn sy pikir itu sdh menjadi sifat dasar manusia utk melihat scr berbeda terhadap golongan/orang lain..

    Kalo kata Om Mario Teguh, "tidak ada jiwa yg aslinya jahat. Yang ada adalah jiwa baik yg sedang salah dan perlu bantuan."

    Btw, 'singkek' tuh artinya 'cina' (tapi ga tau juga dr bahasa mana.)

    Quote terakhir : "you're beautiful no matter what they say.." (Maaf klo ga nyambung :D)

    ReplyDelete