Frasa hak cipta terdiri
dari dua kata, yakni hak dan cipta. Sehingga, dapat diartikan hak cipta adalah
hak yang dimiliki seorang pencipta atas suatu ciptaannya. Ciptaan adalah hasil
setiap karya pencipta dalam bentuk yang khas dan menunjukkan keasliannya dalam
lapangan ilmu pengetahuan, seni dan sastra.
Pada awal mulanya
istilah untuk hak cipta yang dikenal adalah hak pengarang sesuai dengan
terjemahan harfiah bahasa Belanda, yakni Auteursrecht.
Baru pada Kongres Kebudayaan Indonesia ke-2, Oktober 1951 di Bandung,
penggunaan istilah hak pengarang dipersoalkan karena dipandang menyempitkan pengertian hak cipta. Jika istilah yang dipakai adalah hak pengarang,
seolah-olah yang diatur hak cipta hanyalah hak-hak dari pengarang saja dan
hanya bersangkut paut dengan karang mengarang saja, sedangkan cakupan hak cipta
jauh lebih luas dari hak-hak pengarang. Oleh karena itu, Kongres Kebudayaan
Indonesia pada saat itu memutuskan untuk mengganti istilah hak pengarang dengan
istilah hak cipta. Istilah ini merupakan istilah yang diperkenalkan oleh ahli
bahasa Soetan Moh. Syah dalam suatu makalah pada waktu Kongres. Menurutnya,
terjemahan Auteursrecht adalah Hak
Pencipta, tetapi untuk tujuan penyederhanaan dan kepraktisan disingkat menjadi
Hak Cipta.
Beranjak dari terminologi
hak cipta, hak cipta itu sendiri timbul karena ada pencipta dan ada suatu karya
cipta atau ciptaan. Dari mana ciptaan itu lahir? Mengutip kalimat yang tertulis
pada langit-langit kubah atap bangunan Markas Besar WIPO di Geneva yang
dirangkum oleh Arpad Bogsch, Direktur Jenderal WIPO yang dibaca oleh Eddy
Damian pada kunjungan penelitiannya ke Geneva, tertulis sebagai berikut:
“Human genius is the source of all works, of art
and inventions. These works are the guarantee of a life worthy of men. It
is the duty of the state to ensure with diligence the protection of the arts
and inventions.
Berangkat dari kerangka
pemikiran bahwa ciptaan merupakan hasil intelektual (human genius) atau olah pikir manusia, sudah sewajarnya apabila
negara menjamin sepenuhnya perlindungan terhadap segala macam ciptaan yang
merupakan karya intelektual manusia. Dasar pemikiran perlu adanya perlindungan
hukum terhadap ciptaan ini tidak terlepas dari dominasi pemikiran Doktrin Hukum
Alam yang menekankan pada faktor manusia dan penggunaan akal seperti yang
dikenal dalam Civil Law system yang
merupakan sistem hukum yang dianut di Indonesia.
Sistem perlindungan hak
cipta ini memberikan perlindungan terhadap nilai ekonomis suatu ciptaan ketika
dilakukan eksploitasi terhadap suatu ciptaan dengan cara menggandakan (copying), pertunjukan secara publik (public performance), pengumuman atau
penggunaan lainnya. Hak cipta yang juga dikenal dalam bahasa Inggris sebagai copyright juga meliputi sejumlah hak
sebagaimana diatur dalam hukum yang berlaku. Diharapkan dengan adanya perlindungan secara hukum terhadap hak cipta, pencipta
dapat menikmati nilai ekonomis dari ciptaannya secara optimal.
Telah disebutkan
sebelumnya bahwa hak cipta ini berkaitan erat dengan intelektualitas manusia
berupa hasil kerja otak. Akan tetapi, lebih jauh dijelaskan oleh Hulman
Panjaitan dan Wetmen Sinaga bahwa hak cipta hanya diberikan kepada ciptaan yang
sudah berwujud atau berupa ekspresi yang sudah dapat dilihat, dibaca,
didengarkan dan sebagainya. Ditegaskan bahwa hukum hak cipta tidak melindungi
ciptaan yang masih berupa ide. Agar mendapat perlindungan hak cipta, suatu ide
perlu diekspresikan terlebih dahulu. Ide yang masih abstrak dan belum pernah diekspresikan tidaklah dilindungi oleh
hukum hak cipta. Berikut penjelasan Hulman Panjaitan dan Wetmen Sinaga:
“Dapat ditegaskan bahwa adanya suatu bentuk yang
nyata dan berwujud (expression) dan sesuatu yang berwujud itu adalah asli
(original) atau bukan hasil plagiat merupakan syarat yang harus dipenuhi untuk
dapat menikmati perlindungan hukum hak cipta. Sebuah lagu (ada syair dan
melodi) yang dinyanyikan seseorang secara spontan dan kemudian suara dan syair
yang terucapkan hilang ditelan udara tidak mendapat hak cipta. Akan tetapi,
kalau lagu itu direkam (dalam pita rekaman) atau dituliskan dan terbukti tidak
sebagai jiplakan, barulah mendapat perlindungan hak cipta.”
Indonesia memang
menganut sistem hukum Civil Law, namun
dalam hal perlindungan terhadap hak cipta ini, secara universal negara-negara
dengan sistem common law maupun civil law pada dasarnya menggunakan
prinsip-prinsip dasar yang sama dalam memberikan perlindungan hak cipta. Kedua
sistem ini mendasarkan teorinya pada penggunaan akal atau nalar sehingga hukum
dianggap sebagai karya akal atau nalar.
Beberapa prinsip yang
sama dalam sistem hukum common law maupun civil law terkait dengan perlindungan
hak cipta antara lain:
1.
Yang dilindungi hak cipta adalah ide
yang telah berwujud dan asli.
Dari
prinsip ide yang berwujud atau fixation
of idea ini dapat diperoleh beberapa prinsip turunan, yaitu:
a. Suatu
ciptaan harus mempunyai keaslian (nilai orisinalitas) untuk seorang pencipta dapat
menikmati hak-hak yang diberikan undang-undang. Unsur keaslian ini sangat erat
hubungannya dengan bentuk perwujudan suatu ciptaan. Oleh karena itu, suatu
ciptaan baru dapat dianggap asli jika bentuk perwujudannya bukanlah merupakan
jiplakan (plagiat) dari ciptaan lain yang telah diwujudkan sebelumnya. Terkait
keaslian suatu ciptaan ini, seorang penulis Belanda, Herald D.J. Jongen mengemukakan sebagai berikut:
“Article 10 of the Copyright Act (the Netherlands)
provides that works are all literary, scientific or artistic products. Although
Copyright Act does not mention any condition for protection, only “original”
products are considered works. The only exception to this rule are writings
which are protected even in the absence of any originality.”
- Suatu ciptaan,
mempunyai hak cipta jika ciptaan yang bersangkutan diwujudkan (fixation) dalam bentuk tulisan atau
bentuk material yang lain. Hal ini berarti bahwa suatu ide yang tidak
diwujudkan dan hanya berupa ide saja belum dapat dikatakan sebagai suatu ciptaan
dan belum dilindungi oleh hak cipta.
- Hak cipta
merupakan hak eksklusif dari pencipta atau penerima hak cipta untuk
mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya (sesuai Pasal 2 ayat [1] UUHC).
Ini berarti tidak ada orang lain yang boleh mengumumkan atau memperbanyak
suatu ciptaan tanpa izin dari pencipta atau penerima hak cipta. Dengan
kata lain, hak ekslusif ini mengandung pengertian “monopoli terbatas”
terhadap suatu ciptaan.
2.
Hak cipta timbul dengan sendirinya
(otomatis)
Pendaftaran suatu
ciptaan ke Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual bukanlah suatu
keharusan untuk suatu ciptaan mendapat perlindungan. Namun, memang jika
pendaftaran ini dilakukan akan lebih memudahkan pembuktian kepemilikan hak
cipta oleh pencipta jika suatu hari terjadi sengketa kepemilikan hak cipta atas
suatu ciptaan. Misalnya, jika suatu hari ada orang lain yang mengklaim ciptaan buku
X adalah ciptaannya, padahal A adalah penciptanya dan sudah mendaftarkannya.
Terhadap sengketa ini akan lebih mudah pembuktiannya mengenai siapa pencipta
sesungguhnya dari buku X. Hal itu berarti suatu ciptaan baik yang terdaftar
maupun yang tidak terdaftar tetap dilindungi.
3.
Suatu ciptaan tidak selalu perlu
diumumkan untuk memperoleh hak cipta.
Terhadap
suatu ciptaan, baik diumumkan atau tidak diumumkan, keduanya dapat memperoleh
perlindungan hak cipta. Contohnya, ketika seorang pelukis membuat suatu lukisan
dan hanya disimpan di kamarnya tanpa dipertunjukkan atau dipamerkan, pelukis
tersebut memegang hak cipta atas lukisan tersebut. Contoh lain untuk ciptaan
yang hak ciptanya baru timbul ketika ciptaan itu diumumkan adalah pada lay
out karya tulis (typhograpgical
arrangement) (Pasal 12 [1] a UUHC). Yang dimaksud dengan typhograpgical arrangement adalah aspek
seni atau estetika pada susunan dan bentuk karya tulis yang mencakup antara
lain format, hiasan, warna dan susunan atau tata letak huruf yang secara keseluruhan
menampilkan wujud yang khas yang biasanya dikerjakan/diciptakan oleh penerbit
sebuah buku. Suatu typhographical
arrangement baru dilindungi hak ciptanya setelah penerbitan dilakukan
(dalam hal ini berarti dilakukan pengumuman).
4.
Hak cipta suatu ciptaan merupakan suatu
hak yang diakui hukum (legal right)
yang harus dipisahkan dan harus dibedakan dari penguasaan fisik suatu ciptaan. Yang
dimaksud dalam poin ini akan dijelaskan melalui contoh, yakni, Anton membeli
sebuah kaset berisi lagu dari penyanyi ternama, bukan berarti Anton adalah
pemilik hak cipta karena membeli karya lagu tersebut. Jika Anton memperbanyak
lagu dan dijual untuk kepentingan komersial, maka Anton melanggar hak cipta.
5.
Hak cipta bukan hak mutlak (absolut)
Disebutkan dalam Pasal
1 ayat (1) UUHC bahwa:
“Hak Cipta adalah hak eksklusif bagi
Pencipta atau penerima hak untuk mengumumkan atau memperbanyak Ciptaannya atau
memberikan izin untuk itu dengan tidak mengurangi pembatasan-pembatasan menurut
peraturan perundang-undangan yang berlaku.”
Dapat kita lihat dari ketentuan tersebut di atas bahwa
hak cipta bukanlah bersifat absolut, karena hak cipta juga dibatasi oleh
undang-undang. Selain itu, hak cipta juga tidak menganut monopoli mutlak, tapi
hanya menganut monopoli terbatas. Hal ini dikarenakan adanya kemungkinan
terjadinya suatu ciptaan yang diciptakan pada waktu yang sama dan merupakan
ciptaan yang sama. Dalam hal yang demikian, tidak terjadi pelanggaran hak
cipta.
Salam, terima kasih untuk sharing artikelnya, sangat bermanfaat. Namun saya mohon izin menanyakan beberapa hal kepada Ibu Diana. Saya mempunyai sebuah ide untuk membuat program berupa Tabungan Pendidikan. Program ini ditujukan bagi siswa yang akan melanjutkan pendidikan lebih lanjut. Jadi para siswa akan menabung dan dalam jangka waktu tertentu uang tabungannya tersebut dapat diambil. Tujuan program ini adalah guna membantu biaya masuk pada tingkatan pendidikan yang lebih tinggi agar tidak membebani orang tua siswa. Jadi, ketika siswa hendak melanjutkan pendidikannya ia sudah memiliki tabungan untuk biaya pendidikannya lebih lanjut. Program ini sudah saya susun sedemikian rupa hingga teknis pelaksanaannya. Pertanyaannya, apakah program yang saya maksudkan merupakan suatu ciptaan yang dapat diberikan perlindungan hukum? Bila saya menggandeng suatu perusahaan untuk bekerja sama menjalankan program tersebut, apakah saya berhak mendapatkan royalti atau suatu nilai kontrak tertentu? Atas pencerahan Ibu saya ucapkan terima kasih.
ReplyDeleteSalam.
ReplyDeletePatut diketahui, berdasarkan UU Hak Cipta, Ciptaan yang dilindungi adalah Ciptaan dalam bidang ilmu pengetahuan, seni, dan sastra, yang mencakup:
a. buku, Program Komputer, pamflet, perwajahan (lay out) karya tulis yang diterbitkan,
dan semua hasil karya tulis lain;
b. ceramah, kuliah, pidato, dan Ciptaan lain yang sejenis dengan itu;
c. alat peraga yang dibuat untuk kepentingan pendidikan dan ilmu pengetahuan;
d. lagu atau musik dengan atau tanpa teks;
e. drama atau drama musikal, tari, koreografi, pewayangan, dan pantomim;
f. seni rupa dalam segala bentuk seperti seni lukis, gambar, seni ukir, seni kaligrafi, seni pahat, seni patung, kolase, dan seni terapan;
g. arsitektur;
h. peta;
i. seni batik;
j. fotografi;
k. sinematografi;
l. terjemahan, tafsir, saduran, bunga rampai, database, dan karya lain dari hasil pengalihwujudan.
Jadi, program yang Anda maksudkan menurut hemat saya tidak termasuk dalam Ciptaan yang dilindungi berdasarkan UU Hak Cipta.
trimakasih infonya sangat menarik,,
ReplyDeletebermanfaat sekali,,
mantap,,