I just read a shocking news about a poor girl (8 yo) died caused by internal bleeding at her "first night" with her husband (40 yo) after their sexual intercourse. Here are the articles:
Malam Pertama Bunuh Pengantin Bocah di Yaman
Yaman akan Larang Pernikahan Anak
As I read through the articles, that incident happened because of economy reason. Parents in Yaman used to sell the children to be married to a rich man for they cannot afford to raise the children or because they want the money from the "buyer" of the child.
I know this might be a little cliche situation that we used to hear nowadays. Even in Indonesia, parents are selling the children in many ways just to survive.
Those facts are really really heart-breaking. Those facts are far far away from how the children should be treated as stipulated in Convention on the Rights of the Child. That Convention is like a goal or a dream. But then how can we reach that dream? It will take a lot of efforts and involvement of every single person related with the child. Not only the government, especially the parents.
I'm angry inside. Not to the situation that force the parents to do that, but to everyone involved in those schemes who does not want to use their conscience.
Those children need protection
Those children need love
Those children need to be sure that they have better future
Just please..let them grow normally
Saturday, September 14, 2013
Tuesday, September 3, 2013
Arbitrase Sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa
Proses
peradilan yang memakan waktu dan tenaga (selain biaya) acapkali menimbulkan
keengganan tersendiri bagi para pihak yang menghadapi sengketa dengan pihak
lain. Mungkin belum banyak yang mengetahui atau memahami betul bahwa ada
mekanisme lain yang bisa ditempuh untuk penyelesaian sengketa yang umumnya
dikenal dengan “Alternative Disputes
Resolution”. Alternative Dispute
Resolution menawarkan beberapa mekanisme yang dapat ditempuh antara
lain mediasi, arbitrase dan konsiliasi. Dalam tulisan ini saya hanya akan
membahas sepintas mengenai arbitrase untuk sekedar memberikan gambaran umum
mengenai arbitrase. Semoga bermanfaat J
Arbitrase
adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang
didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para
pihak yang bersengketa.
Definisi
arbitrase menurut Black's Law Dictionary adalah: "Arbitration. an
arrangement for taking an abiding by the judgement of selected persons in some
disputed matter, instead of carrying it to establish tribunals of justice, and
is intended to avoid the formalities, the delay, the expense and vexation of
ordinary litigation".
Dalam proses Arbitrase diperlukan peran seorang arbiter. Arbiter
adalah seorang atau lebih yang dipilih oleh para pihak yang bersengketa atau
yang ditunjuk oleh Pengadilan
Negeri atau oleh lembaga arbitrase, untuk memberikan putusan
mengenai sengketa tertentu yang diserahkan
penyelesaiannya melalui arbitrase.
Di Indonesia, arbitrase diatur dalam UU No. 30
Tahun 1999 tentang Arbitrase. Berdasarkan ketentuan UU Arbitrase, sengketa
yang dapat diselesaikan melalui arbitrase hanya sengketa di bidang perdagangan
dan mengenai hak yang menurut hukum dan
peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak
yang bersengketa (misalnya: bidang perniagaan, perbankan, keuangan,
penanaman modal, industri dan hak milik Intelektual). Sengketa yang tidak dapat diselesaikan
melalui arbitrase adalah sengketa yang menurut peraturan perundang-undangan tidak dapat diadakan
perdamaian
Dalam hal suatu sengketa sudah
disepakati untuk diselesaikan melalui jalur arbitrase, Pengadilan
Negeri tidak berwenang untuk mengadili sengketa tersebut.
Dan ketika para
pihak telah menyetujui bahwa sengketa di antara mereka akan diselesaikan
melalui arbitrase dan para pihak telah
memberikan wewenang kepada arbiter, maka arbiter berwenang
menentukan dalam putusannya
mengenai hak dan kewajiban para pihak jika hal ini tidak diatur dalam
perjanjian mereka.
Persetujuan
untuk menyelesaikan sengketa melalui arbitrase umumnya diatur
dalam suatu dokumen yang ditandatangani oleh para pihak yakni sebuah perjanjian arbitrase. Dalam
hal kesepakatan untuk memilih penyelesaian
sengketa melalui arbitrase terjadi dalam bentuk pertukaran surat, maka pengiriman teleks, telegram,
faksimili, e-mail atau dalam bentuk sarana komunikasi lainnya, wajib disertai dengan suatu catatan penerimaan
oleh para pihak.
Arbitrase yang dipilih dapat berupa arbitrase sementara (ad-hoc) maupun arbitrase melalui lembaga
yang permanen. Di Indonesia saat ini ada lembaga independen yang memberikan
jasa beragam yang berhubungan dengan arbitrase, mediasi dan bentuk-bentuk lain
dari penyelesaian sengketa di luar pengadilan yakni BANI (Badan Arbitrase
Nasional Indonesia) yang lebih jauh bisa dicek di laman resminya: www.bani-arb.org
Meski proses
arbitrase memiliki kelebihan bahwa prosesnya lebih
cepat, rahasia
(confidential), final dan mengikat
serta efisien. Namun, proses arbitrase juga
masih memiliki kelemahan yakni:
a. Mekanisme ini
belum dikenal secara luas oleh masyarakat;
b. Kurangnya
budaya kesadaran dan itikad baik dari para pihak untuk melaksanakan putusan
dapat berakibat tertundanya atau tidak terlaksananya putusan arbitrase;
c. Putusan
arbitrase tidak mempunyai kekuatan untuk memaksa (daya paksa) dalam pelaksanaannya.
Pada dasarnya,
para pihak yang sengketanya diselesaikan melalui proses arbitrase harus
melaksanakan putusan secara sukarela. Namun, untuk suatu putusan arbitrase
dapat dipaksakan pelaksanaannya, putusan tersebut harus diserahkan dan
didaftarkan pada kepaniteraan pengadilan negeri dalam waktu 30 (tiga puluh)
hari setelah putusan arbitase diucapkan.
Thursday, February 14, 2013
Resensi Buku | Kiat-Kiat Cerdas, Mudah, dan Bijak Memahami Masalah Hukum Waris
Panduan
Lengkap Hukum Praktis Populer
Kiat-Kiat Cerdas, Mudah, dan Bijak Memahami Masalah Hukum Waris
Penulis : Irma Devita Purnamasari, SH., M.Kn.
Penerbit : Kaifa (PT. Mizan Pustaka)
Tahun : 2012
Total halaman : xxiii + 232
Siapa ya yang berhak atas warisan kakek saya?
Apakah anak dari paman dan tante saya berhak atas warisan juga? Bagaimana jika
pewaris tidak mempunyai anak? Bagaimana dengan hak mewaris istri kedua? Berbagai
pertanyaan tersebut mungkin sering ditemui di masyarakat. Irma Devita hadir menjawab
berbagai pertanyaan seputar hukum waris di masyarakat dengan penjelasan yang
komprehensif melalui bukunya yang diterbitkan pada bulan Desember 2012 kemarin.
Mengapa pengetahuan mengenai hukum waris ini
penting untuk diketahui masyarakat awam? Selain karena pewarisan adalah masalah
hukum sehari-hari yang akan terus-menerus dihadapi oleh kita semua, di
Indonesia berlaku 3 (tiga) sistem hukum waris yang juga dijelaskan dalam buku
Irma ini yaitu; (1) sistem hukum Waris Perdata
Barat, (2) sistem hukum Waris Adat,
juga ada (3) sistem hukum Waris Islam.
Mungkin kedengarannya tidak mudah, tapi Irma mampu menjelaskannya kepada pembaca
dengan bahasa yang mudah dipahami.
Hal ini menjadi ciri khas buku Irma, seperti halnya
buku-buku Irma yang sebelumnya, penyampaian materi hukum waris dalam buku ini
disampaikan dengan lugas, ringan, mudah dibaca dan dicerna bahkan oleh orang
awam yang tak mendalami ilmu hukum. Bagi yang belum mengetahui buku-buku Irma
sebelumnya, ada:
1.
Kiat-Kiat Cerdas, Mudah, dan Bijak Mengatasi
Masalah Hukum Pertanahan;
2. Kiat-Kiat Cerdas, Mudah dan Bijak Mendirikan Badan Usaha;
3. Kiat-Kiat Cerdas, Mudah dan Bijak Memahami Masalah Akad Syariah;
4. Kiat-Kiat Cerdas, Mudah dan Bijak Memahami Masalah Hukum Jaminan Perbankan;
5.
Kicauan Praktisi @irmadevitacom seputar Perseroan Terbatas.
Dalam buku ini, satu per satu Irma mengulas
berbagai sistem hukum waris yang berlaku di Indonesia, mulai dari konsep
dasarnya, skema pewarisan berdasarkan pembagian golongan waris bahkan juga dilengkapi
dengan skema gambar yang dapat memberikan visualisasi mengenai pewarisan dalam berbagai
variasi kasus, juga bagan pembagian golongan waris.
Mengutip sedikit ulasan Irma dalam buku ini, Irma
menjelaskan bahwa “sistem kewarisan
menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata atau biasa disebut “waris barat”
terutama adalah berlaku bagi Warga Negara Indonesia yang beragama selain Islam
atau bagi yang beragama Islam namun menundukkan diri ke dalam hukum pewarisan
barat. Dari tiga sistem kewarisan yang berlaku, yang paling sering dihadapi
oleh praktisi notaris adalah sistem Waris Barat karena notaris hanya berwenang
membuat Surat Keterangan Waris untuk golongan penduduk keturunan Tionghoa saja.
Untuk WNI Pribumi, kewenangannya ada pada lurah hingga camat atau Pengadilan
Agama (jika ada sengketa), sedangkan untuk keturunan Timur Asing (India,
Pakistan, dll) dibuat oleh Balai Harta Peninggalan (BHP). Sedangkan perkara
pembagian waris menurut hukum Waris Islam ditangani oleh Pengadilan Agama dalam
bentuk Fatwa Waris.” (hal. 1)
Dalam beberapa halaman, Irma juga memberikan
catatan penting untuk diperhatikan oleh Notaris dalam bagian yang ditulisnya “Penting bagi Notaris”. Tentunya catatan-catatan
tersebut diberikan berdasarkan pengetahuan yang mumpuni dan segudang pengalaman
yang dimiliki oleh Notaris sekaligus Ibunda dari Khalida Rachmawati ini.
Tentu dalam buku dengan 12 Bab ini tidak hanya
membahas mengenai sistem hukum waris yang berlaku di Indonesia, dalam buku ini
juga diuraikan mengenai hibah dan hibah wasiat, hal-hal mengenai keterangan
waris, waris bagi anak luar kawin, waris bagi anak adopsi, waris bagi istri
kedua, ketiga, keempat, pewarisan dan kaitannya dengan badan usaha, waris dalam
perkawinan campuran dan masih banyak lagi hal-hal praktis yang dibahas dalam
buku ini terkait dengan pewarisan.
Ketika menemui istilah-istilah yang tidak kita
mengerti seperti anak sumbang, Baitul Mal, Hereditatis Petitio, tidak perlu
panik dan tidak perlu buru-buru membuka kamus karena Irma sudah menyediakan
daftar istilah yang dilengkapi dengan uraian pengertian dari istilah-istilah
tersebut pada bagian akhir dari buku ini.
Sebelum menutup uraiannya mengenai hukum waris di
Indonesia, Irma melengkapi tulisannya dengan Kesimpulan dan Bagan Perbandingan
Hukum Waris Islam dengan Hukum Waris Barat. Sangat menarik dan memudahkan
pembaca memahaminya.
Buku ini dilengkapi dengan CD (compact disc) yang berisi peraturan perundang-undangan yang
terkait dengan hukum waris dan blanko serta contoh surat. Buku ini sudah dapat
diperoleh di toko-toko buku seperti Gramedia, dan saya mengucapkan selamat
membaca, semoga dapat memetik manfaat dari buku ini.
Thursday, February 7, 2013
Peradilan Tata Usaha Negara
Ketentuan
mengenai Peradilan Tata Usaha Negara ini diatur dalam UU No. 5 Tahun 1986
tentang Peradilan Tata Usaha Negara sebagaimana telah diubah dengan UU No. 9
Tahun 2004 dan terakhir diubah dengan UU No. 51 Tahun 2009.
Tata
Usaha Negara (TUN) adalah administrasi negara yang melaksanakan fungsi untuk menyelenggarakan
urusan pemerintahan baik di pusat maupun di daerah. Urusan TUN ini dilaksanakan
oleh Badan atau para pejabat Tata Usaha Negara yang dalam melaksanakan
urusannya itu, mereka memiliki kewenangan untuk mengeluarkan Keputusan Tata
Usaha Negara.
Keputusan
Tata Usaha Negara (KTUN) adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh
badan atau pejabat tata usaha negara yang berisi tindakan hukum tata usaha
negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang
bersifat konkret, individual, dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi
seseorang atau badan hukum perdata.
Namun
ada beberapa keputusan yang tidak termasuk dalam pengertian Keputusan Tata Usaha
Negara menurut UU Peradilan Tata Usaha Negara, yakni:
(a).
Keputusan
Tata Usaha Negara yang merupakan perbuatan hukum perdata;
(b).
Keputusan
Tata Usaha Negara yang merupakan pengaturan yang bersifat umum;
(c).
Keputusan
Tata Usaha Negara yang masih memerlukan persetujuan;
(d).
Keputusan
Tata Usaha Negara yang dikeluarkan berdasarkan ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana atau peraturan
perundangundangan lain yang bersifat hukum pidana;
(e). Keputusan
Tata Usaha Negara yang dikeluarkan atas dasar hasil pemeriksaan badan peradilan
berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
(f).
Keputusan
Tata Usaha Negara mengenai tata usaha Tentara Nasional Indonesia;
(g).
Keputusan
Komisi Pemilihan Umum baik di pusat maupun di daerah mengenai hasil pemilihan umum.
Dikeluarkannya
suatu KTUN bisa saja menimbulkan sengketa yakni antara orang atau badan hukum
perdata dengan badan atau pejabat tata usaha negara, baik di pusat maupun di
daerah. Sengketa TUN ini juga termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dalam
hal ada orang atau badan hukum perdata yang merasa kepentingannya dirugikan
oleh suatu Keputusan Tata Usaha Negara, orang atau badan hukum perdata tersebut
dapat mengajukan gugatan tertulis kepada Pengadilan Tata Usaha Negara yang
berwenang yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan tergugat.
Apabila
tergugat lebih dari satu Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara dan berkedudukan
tidak dalam satu daerah hukum Pengadilan, gugatan diajukan kepada Pengadilan
yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan salah satu Badan atau Pejabat
Tata Usaha Negara.
Atau
apabila tempat kedudukan tergugat tidak berada dalam daerah hukum Pengadilan
tempat kediaman penggugat, maka gugatan dapat diajukan ke Pengadilan yang daerah
hukumnya meliputi tempat kediaman penggugat untuk selanjutnya diteruskan kepada
Pengadilan yang bersangkutan.
Selain
itu, dalam hal-hal tertentu sesuai dengan sifat sengketa Tata Usaha Negara yang
bersangkutan yang diatur dengan Peraturan Pemerintah, gugatan dapat diajukan
kepada Pengadilan yang berwenang yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman
penggugat.
Sedangkan
apabila penggugat dan tergugat berkedudukan atau berada di luar negeri, gugatan
diajukan kepada Pengadilan di Jakarta. Apabila tergugat berkedudukan di dalam
negeri dan penggugat di luar negeri, gugatan diajukan kepada Pengadilan di
tempat kedudukan tergugat.
Gugatan
yang diajukan berisi tuntutan agar Keputusan Tata Usaha Negara yang
disengketakan itu dinyatakan batal atau tidak sah, dengan atau tanpa disertai
tuntutan ganti rugi dan/atau direhabilitasi. Dan alasan-alasan yang dapat
digunakan dalam gugatan tersebut adalah:
(a). Keputusan
Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku;
(b). Keputusan
Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan asas-asas umum pemerintahan
yang baik.
Patut
diperhatikan bahwa gugatan hanya dapat diajukan hanya dalam tenggang waktu
sembilan puluh hari terhitung sejak saat diterimanya atau diumumkannya
Keputusan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara.
Pada
dasarnya pengajuan gugatan tidak menunda atau menghalangi dilaksanakannya
Keputusan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara serta tindakan Badan atau
Pejabat Tata Usaha Negara yang digugat. Tapi, penggugat dapat mengajukan
permohonan agar pelaksanaan Keputusan Tata Usaha Negara itu ditunda selama
pemeriksaan sengketa Tata Usaha Negara sedang berjalan, sampai ada putusan
Pengadilan yang memperoleh kekuatan hukum tetap. Permohonan penundaan
pelaksanaan KTUN tersebut dapat diajukan sekaligus dalam gugatan dan dapat diputus
terlebih dahulu dari pokok sengketanya.
Dalam
hal bersama gugatan diajukan pula permohonan penundaan pelaksanaan KTUN,
permohonan:
(a). dapat
dikabulkan hanya apabila terdapat keadaan yang sangat mendesak yang
mengakibatkan kepentingan penggugat sangat dirugikan jika Keputusan Tata Usaha
Negara yang digugat itu tetap dilaksanakan;
(b). tidak
dapat dikabulkan apabila kepentingan umum dalam rangka pembangunan mengharuskan
dilaksanakannya keputusan tersebut.
Pemeriksaan
di PTUN adalah terbuka untuk umum kecuali sengketa yang disidangkan menyangkut
ketertiban umum atau keselamatan negara, persidangan dapat dinyatakan tertutup
untuk umum.
Terhadap
sengketa TUN yang diajukan ke PTUN, putusan Pengadilan dapat berupa:
(a).
gugatan
ditolak;
(b).
gugatan
dikabulkan;
(c).
gugatan
tidak diterima;
(d).
gugatan
gugur
Dalam
hal gugatan dikabulkan, maka dalam putusan Pengadilan tersebut dapat ditetapkan
kewajiban yang harus dilakukan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang
mengeluarkan Keputusan Tata Usaha Negara, yakni berupa:
(a).
pencabutan
Keputusan Tata Usaha Negara yang bersangkutan; atau
(b).
pencabutan
Keputusan Tata Usaha Negara yang bersangkutan dan menerbitkan Keputusan Tata Usaha
Negara yang baru; atau
(c).
penerbitan
Keputusan Tata Usaha Negara dalam hal gugatan didasarkan pada Pasal 3*.
*Bunyi
Pasal 3
(1) Apabila
Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tidak mengeluarkan keputusan, sedangkan
hal itu menjadi kewajibannya,maka hal tersebut disamakan dengan Keputusan Tata
Usaha Negara.
(2) Jika
suatu Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tidak mengeluarkan keputusan yang
dimohon, sedangkan jangka waktu sebagaimana ditentukan data peraturan
perundang-undangan dimaksud telah lewat,maka Badan atau Pejabat Tata Usaha
Negara tersebut dianggap telah menolak mengeluarkan keputusan yang dimaksud.
(3) Dalam
hal peraturan perundang-undangan yang bersangkutan tidak menentukan jangka
waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), maka setelah lewat jangka waktu
empat bulan sejak di terimanya permohonan,Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara
yang bersangkutan dianggap telah mengeluarkan keputusan penolakan.
Monday, February 4, 2013
Peradilan Agama
Peradilan
Agama merupakan salah satu pelaku kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari
keadilan yang beragama Islam mengenai perkara tertentu sebagaimana dimaksud
dalam UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama sebagaimana telah diubah dengan
UU No. 3 Tahun 2006 dan terakhir diubah dengan UU No. 50 Tahun 2009.
Sesuai
Pasal 49 UU Peradilan Agama, Pengadilan agama bertugas dan berwenang memeriksa,
memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang
beragama Islam di bidang:
a.
perkawinan;
b.
waris;
c.
wasiat;
d.
hibah;
e.
wakaf;
f. zakat;
g.
infaq;
h.
shadaqah; dan
i.
ekonomi syari'ah.
Hukum
Acara yang berlaku pada Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama adalah
Hukum Acara Perdata yang berlaku pada Pengadilan dalam lingkungan Peradilan
Umum, kecuali yang telah diatur secara khusus dalam UU Peradilan Agama.
Tiap
pemeriksaan perkara di Pengadilan dimulai sesudah diajukannya suatu permohonan
atau gugatan dan pihak-pihak yang berperkara telah dipanggil menurut ketentuan
yang berlaku. Dan Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa dan memutus
suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak atau kurang jelas,
melainkan wajib memeriksa dan memutusnya. Dalam hal adanya pengajuan gugatan, tidak
menutup kemungkinan dilakukannya usaha penyelesaian perkara secara damai.
Proses
peradilan di pengadilan agama dilakukan dengan sederhana, cepat, dan biaya
ringan dan pemeriksaannya dilakukan secara terbuka untuk umum, kecuali apabila
undang-undang menentukan lain atau jika Hakim dengan alasan-alasan penting yang
dicatat dalam berita acara sidang, memerintahkan bahwa pemeriksaan secara
keseluruhan atau sebagian akan dilakukan dengan sidang tertutup. Namun, dalam
penyampaian putusan di Pengadilan Agama, penetapan dan putusan Pengadilan hanya
sah dan mempunyai kekuatan hukum apabila diucapkan dalam sidang terbuka untuk
umum.
Atas
penetapan dan putusan Pengadilan Agama dapat dimintakan banding oleh pihak yang
berperkara, kecuali apabila undang-undang menentukan lain. Kemudian atas
penetapan dan putusan Pengadilan Tinggi Agama juga dapat dimintakan kasasi
kepada Mahkamah Agung oleh pihak yang berperkara.
Terhadap
penetapan dan putusan Pengadilan yang dimintakan banding atau kasasi, pelaksanaannya
ditunda demi hukum, kecuali apabila dalam amarnya menyatakan penetapan atau
putusan tersebut dapat dijalankan lebih dahulu meskipun ada perlawanan,
banding, atau kasasi.
Hak Cipta
Frasa hak cipta terdiri
dari dua kata, yakni hak dan cipta. Sehingga, dapat diartikan hak cipta adalah
hak yang dimiliki seorang pencipta atas suatu ciptaannya. Ciptaan adalah hasil
setiap karya pencipta dalam bentuk yang khas dan menunjukkan keasliannya dalam
lapangan ilmu pengetahuan, seni dan sastra.
Pada awal mulanya
istilah untuk hak cipta yang dikenal adalah hak pengarang sesuai dengan
terjemahan harfiah bahasa Belanda, yakni Auteursrecht.
Baru pada Kongres Kebudayaan Indonesia ke-2, Oktober 1951 di Bandung,
penggunaan istilah hak pengarang dipersoalkan karena dipandang menyempitkan pengertian hak cipta. Jika istilah yang dipakai adalah hak pengarang,
seolah-olah yang diatur hak cipta hanyalah hak-hak dari pengarang saja dan
hanya bersangkut paut dengan karang mengarang saja, sedangkan cakupan hak cipta
jauh lebih luas dari hak-hak pengarang. Oleh karena itu, Kongres Kebudayaan
Indonesia pada saat itu memutuskan untuk mengganti istilah hak pengarang dengan
istilah hak cipta. Istilah ini merupakan istilah yang diperkenalkan oleh ahli
bahasa Soetan Moh. Syah dalam suatu makalah pada waktu Kongres. Menurutnya,
terjemahan Auteursrecht adalah Hak
Pencipta, tetapi untuk tujuan penyederhanaan dan kepraktisan disingkat menjadi
Hak Cipta.
Beranjak dari terminologi
hak cipta, hak cipta itu sendiri timbul karena ada pencipta dan ada suatu karya
cipta atau ciptaan. Dari mana ciptaan itu lahir? Mengutip kalimat yang tertulis
pada langit-langit kubah atap bangunan Markas Besar WIPO di Geneva yang
dirangkum oleh Arpad Bogsch, Direktur Jenderal WIPO yang dibaca oleh Eddy
Damian pada kunjungan penelitiannya ke Geneva, tertulis sebagai berikut:
“Human genius is the source of all works, of art
and inventions. These works are the guarantee of a life worthy of men. It
is the duty of the state to ensure with diligence the protection of the arts
and inventions.
Berangkat dari kerangka
pemikiran bahwa ciptaan merupakan hasil intelektual (human genius) atau olah pikir manusia, sudah sewajarnya apabila
negara menjamin sepenuhnya perlindungan terhadap segala macam ciptaan yang
merupakan karya intelektual manusia. Dasar pemikiran perlu adanya perlindungan
hukum terhadap ciptaan ini tidak terlepas dari dominasi pemikiran Doktrin Hukum
Alam yang menekankan pada faktor manusia dan penggunaan akal seperti yang
dikenal dalam Civil Law system yang
merupakan sistem hukum yang dianut di Indonesia.
Sistem perlindungan hak
cipta ini memberikan perlindungan terhadap nilai ekonomis suatu ciptaan ketika
dilakukan eksploitasi terhadap suatu ciptaan dengan cara menggandakan (copying), pertunjukan secara publik (public performance), pengumuman atau
penggunaan lainnya. Hak cipta yang juga dikenal dalam bahasa Inggris sebagai copyright juga meliputi sejumlah hak
sebagaimana diatur dalam hukum yang berlaku. Diharapkan dengan adanya perlindungan secara hukum terhadap hak cipta, pencipta
dapat menikmati nilai ekonomis dari ciptaannya secara optimal.
Telah disebutkan
sebelumnya bahwa hak cipta ini berkaitan erat dengan intelektualitas manusia
berupa hasil kerja otak. Akan tetapi, lebih jauh dijelaskan oleh Hulman
Panjaitan dan Wetmen Sinaga bahwa hak cipta hanya diberikan kepada ciptaan yang
sudah berwujud atau berupa ekspresi yang sudah dapat dilihat, dibaca,
didengarkan dan sebagainya. Ditegaskan bahwa hukum hak cipta tidak melindungi
ciptaan yang masih berupa ide. Agar mendapat perlindungan hak cipta, suatu ide
perlu diekspresikan terlebih dahulu. Ide yang masih abstrak dan belum pernah diekspresikan tidaklah dilindungi oleh
hukum hak cipta. Berikut penjelasan Hulman Panjaitan dan Wetmen Sinaga:
“Dapat ditegaskan bahwa adanya suatu bentuk yang
nyata dan berwujud (expression) dan sesuatu yang berwujud itu adalah asli
(original) atau bukan hasil plagiat merupakan syarat yang harus dipenuhi untuk
dapat menikmati perlindungan hukum hak cipta. Sebuah lagu (ada syair dan
melodi) yang dinyanyikan seseorang secara spontan dan kemudian suara dan syair
yang terucapkan hilang ditelan udara tidak mendapat hak cipta. Akan tetapi,
kalau lagu itu direkam (dalam pita rekaman) atau dituliskan dan terbukti tidak
sebagai jiplakan, barulah mendapat perlindungan hak cipta.”
Indonesia memang
menganut sistem hukum Civil Law, namun
dalam hal perlindungan terhadap hak cipta ini, secara universal negara-negara
dengan sistem common law maupun civil law pada dasarnya menggunakan
prinsip-prinsip dasar yang sama dalam memberikan perlindungan hak cipta. Kedua
sistem ini mendasarkan teorinya pada penggunaan akal atau nalar sehingga hukum
dianggap sebagai karya akal atau nalar.
Beberapa prinsip yang
sama dalam sistem hukum common law maupun civil law terkait dengan perlindungan
hak cipta antara lain:
1.
Yang dilindungi hak cipta adalah ide
yang telah berwujud dan asli.
Dari
prinsip ide yang berwujud atau fixation
of idea ini dapat diperoleh beberapa prinsip turunan, yaitu:
a. Suatu
ciptaan harus mempunyai keaslian (nilai orisinalitas) untuk seorang pencipta dapat
menikmati hak-hak yang diberikan undang-undang. Unsur keaslian ini sangat erat
hubungannya dengan bentuk perwujudan suatu ciptaan. Oleh karena itu, suatu
ciptaan baru dapat dianggap asli jika bentuk perwujudannya bukanlah merupakan
jiplakan (plagiat) dari ciptaan lain yang telah diwujudkan sebelumnya. Terkait
keaslian suatu ciptaan ini, seorang penulis Belanda, Herald D.J. Jongen mengemukakan sebagai berikut:
“Article 10 of the Copyright Act (the Netherlands)
provides that works are all literary, scientific or artistic products. Although
Copyright Act does not mention any condition for protection, only “original”
products are considered works. The only exception to this rule are writings
which are protected even in the absence of any originality.”
- Suatu ciptaan,
mempunyai hak cipta jika ciptaan yang bersangkutan diwujudkan (fixation) dalam bentuk tulisan atau
bentuk material yang lain. Hal ini berarti bahwa suatu ide yang tidak
diwujudkan dan hanya berupa ide saja belum dapat dikatakan sebagai suatu ciptaan
dan belum dilindungi oleh hak cipta.
- Hak cipta
merupakan hak eksklusif dari pencipta atau penerima hak cipta untuk
mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya (sesuai Pasal 2 ayat [1] UUHC).
Ini berarti tidak ada orang lain yang boleh mengumumkan atau memperbanyak
suatu ciptaan tanpa izin dari pencipta atau penerima hak cipta. Dengan
kata lain, hak ekslusif ini mengandung pengertian “monopoli terbatas”
terhadap suatu ciptaan.
2.
Hak cipta timbul dengan sendirinya
(otomatis)
Pendaftaran suatu
ciptaan ke Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual bukanlah suatu
keharusan untuk suatu ciptaan mendapat perlindungan. Namun, memang jika
pendaftaran ini dilakukan akan lebih memudahkan pembuktian kepemilikan hak
cipta oleh pencipta jika suatu hari terjadi sengketa kepemilikan hak cipta atas
suatu ciptaan. Misalnya, jika suatu hari ada orang lain yang mengklaim ciptaan buku
X adalah ciptaannya, padahal A adalah penciptanya dan sudah mendaftarkannya.
Terhadap sengketa ini akan lebih mudah pembuktiannya mengenai siapa pencipta
sesungguhnya dari buku X. Hal itu berarti suatu ciptaan baik yang terdaftar
maupun yang tidak terdaftar tetap dilindungi.
3.
Suatu ciptaan tidak selalu perlu
diumumkan untuk memperoleh hak cipta.
Terhadap
suatu ciptaan, baik diumumkan atau tidak diumumkan, keduanya dapat memperoleh
perlindungan hak cipta. Contohnya, ketika seorang pelukis membuat suatu lukisan
dan hanya disimpan di kamarnya tanpa dipertunjukkan atau dipamerkan, pelukis
tersebut memegang hak cipta atas lukisan tersebut. Contoh lain untuk ciptaan
yang hak ciptanya baru timbul ketika ciptaan itu diumumkan adalah pada lay
out karya tulis (typhograpgical
arrangement) (Pasal 12 [1] a UUHC). Yang dimaksud dengan typhograpgical arrangement adalah aspek
seni atau estetika pada susunan dan bentuk karya tulis yang mencakup antara
lain format, hiasan, warna dan susunan atau tata letak huruf yang secara keseluruhan
menampilkan wujud yang khas yang biasanya dikerjakan/diciptakan oleh penerbit
sebuah buku. Suatu typhographical
arrangement baru dilindungi hak ciptanya setelah penerbitan dilakukan
(dalam hal ini berarti dilakukan pengumuman).
4.
Hak cipta suatu ciptaan merupakan suatu
hak yang diakui hukum (legal right)
yang harus dipisahkan dan harus dibedakan dari penguasaan fisik suatu ciptaan. Yang
dimaksud dalam poin ini akan dijelaskan melalui contoh, yakni, Anton membeli
sebuah kaset berisi lagu dari penyanyi ternama, bukan berarti Anton adalah
pemilik hak cipta karena membeli karya lagu tersebut. Jika Anton memperbanyak
lagu dan dijual untuk kepentingan komersial, maka Anton melanggar hak cipta.
5.
Hak cipta bukan hak mutlak (absolut)
Disebutkan dalam Pasal
1 ayat (1) UUHC bahwa:
“Hak Cipta adalah hak eksklusif bagi
Pencipta atau penerima hak untuk mengumumkan atau memperbanyak Ciptaannya atau
memberikan izin untuk itu dengan tidak mengurangi pembatasan-pembatasan menurut
peraturan perundang-undangan yang berlaku.”
Dapat kita lihat dari ketentuan tersebut di atas bahwa
hak cipta bukanlah bersifat absolut, karena hak cipta juga dibatasi oleh
undang-undang. Selain itu, hak cipta juga tidak menganut monopoli mutlak, tapi
hanya menganut monopoli terbatas. Hal ini dikarenakan adanya kemungkinan
terjadinya suatu ciptaan yang diciptakan pada waktu yang sama dan merupakan
ciptaan yang sama. Dalam hal yang demikian, tidak terjadi pelanggaran hak
cipta.
Pelaksana Kekuasaan Kehakiman di Indonesia
Seminggu yang lalu, seorang teman menghubungi saya karena sedang menghadapi "masalah hukum".
Saya tidak akan membahas kasusnya apa disini, tapi dia menanyakan proses yang harus dia lalui karena sudah ada gugatan yang masuk ke Pengadilan Negeri. Saya jelaskan tahapan-tahapannya setelah gugatan hingga memperoleh putusan dan bilamana bisa sampai ke Mahkamah Agung.
Dari diskusi saya dengan teman saya tersebut, tampak bahwa sebenarnya masyarakat awam banyak yang belum memahami sistem peradilan di Indonesia. That's why they need lawyer, don't they? :p
Nah, disini saya hanya ingin membagikan kepada masyarakat awam sedikit pengetahuan hukum untuk mencapai masyarakat Indonesia yang "melek hukum". Maaf, pinjam istilah dari @klinikhukum tempat saya dulu bekerja :D
Ketika seseorang mengalami persoalan hukum dan hendak menyelesaikannya melalui jalur hukum di pengadilan, misalnya untuk kasus perdata atau pidana umum, ada beberapa tingkat peradilan yang bisa ditempuh oleh para pencari keadilan, yaitu:
1. Pengadilan Negeri - sebagai tingkat pertama
2. Pengadilan Tinggi - sebagai tingkat kedua (untuk proses banding)
3. Mahkamah Agung - sebagai tingkat pengadilan tertinggi (untuk proses kasasi)
Sesuai ketentuan UU No. 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum sebagaimana terakhir diubah dengan UU No. 49/2009, Pengadilan Negeri bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara pidana dan perkara perdata di tingkat pertama (Pasal 50).
Ketika majelis hakim Pengadilan Negeri sudah mengeluarkan putusan namun tidak diterima oleh salah satu/para pihak, maka selanjutnya pihak yang keberatan dengan putusan tersebut bisa mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi.
Kemudian Pengadilan Tinggi memiliki tugas dan wewenang mengadili perkara pidana dan perkara perdata di tingkat banding (Pasal 51 ayat [2]). Di samping itu, Pengadilan Tinggi juga bertugas dan berwenang mengadili di tingkat pertama dan terakhir sengketa kewenangan mengadili antar Pengadilan Negeri di daerah hukumnya.
Namun, ketika melalui mekanisme banding di Pengadilan Tinggi salah satu/para pihak belum bisa menerima putusan pengadilan tinggi, maka kasasi dapat diajukan ke Mahkamah Agung, yang tugas dan kewenangannya diatur dalam UU No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU No. 3/2009.
Tugas dan wewenang Mahkamah Agung ini diatur di Pasal 28 ayat (1) UU 14/1985:
Mahkamah Agung bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus:
a. permohonan kasasi;
b. sengketa tentang kewenangan mengadili;
c. permohonan peninjauan kembali putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum
tetap.
Lebih jauh diatur dalam Pasal 29 bahwa Mahkamah Agung memutus permohonan kasasi terhadap putusan Pengadilan Tingkat Banding atau Tingkat Terakhir dari semua Lingkungan Peradilan. Jadi Mahkamah Agung tidak hanya memutus permohonan kasasi dari lingkungan peradilan umum saja, tapi juga dari lingkungan peradilan lainnya (peradilan agama, peradilan militer, peradilan tata usaha negara).
Saya tidak akan membahas kasusnya apa disini, tapi dia menanyakan proses yang harus dia lalui karena sudah ada gugatan yang masuk ke Pengadilan Negeri. Saya jelaskan tahapan-tahapannya setelah gugatan hingga memperoleh putusan dan bilamana bisa sampai ke Mahkamah Agung.
Dari diskusi saya dengan teman saya tersebut, tampak bahwa sebenarnya masyarakat awam banyak yang belum memahami sistem peradilan di Indonesia. That's why they need lawyer, don't they? :p
Nah, disini saya hanya ingin membagikan kepada masyarakat awam sedikit pengetahuan hukum untuk mencapai masyarakat Indonesia yang "melek hukum". Maaf, pinjam istilah dari @klinikhukum tempat saya dulu bekerja :D
Ketika seseorang mengalami persoalan hukum dan hendak menyelesaikannya melalui jalur hukum di pengadilan, misalnya untuk kasus perdata atau pidana umum, ada beberapa tingkat peradilan yang bisa ditempuh oleh para pencari keadilan, yaitu:
1. Pengadilan Negeri - sebagai tingkat pertama
2. Pengadilan Tinggi - sebagai tingkat kedua (untuk proses banding)
3. Mahkamah Agung - sebagai tingkat pengadilan tertinggi (untuk proses kasasi)
Sesuai ketentuan UU No. 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum sebagaimana terakhir diubah dengan UU No. 49/2009, Pengadilan Negeri bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara pidana dan perkara perdata di tingkat pertama (Pasal 50).
Ketika majelis hakim Pengadilan Negeri sudah mengeluarkan putusan namun tidak diterima oleh salah satu/para pihak, maka selanjutnya pihak yang keberatan dengan putusan tersebut bisa mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi.
Kemudian Pengadilan Tinggi memiliki tugas dan wewenang mengadili perkara pidana dan perkara perdata di tingkat banding (Pasal 51 ayat [2]). Di samping itu, Pengadilan Tinggi juga bertugas dan berwenang mengadili di tingkat pertama dan terakhir sengketa kewenangan mengadili antar Pengadilan Negeri di daerah hukumnya.
Namun, ketika melalui mekanisme banding di Pengadilan Tinggi salah satu/para pihak belum bisa menerima putusan pengadilan tinggi, maka kasasi dapat diajukan ke Mahkamah Agung, yang tugas dan kewenangannya diatur dalam UU No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU No. 3/2009.
Tugas dan wewenang Mahkamah Agung ini diatur di Pasal 28 ayat (1) UU 14/1985:
Mahkamah Agung bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus:
a. permohonan kasasi;
b. sengketa tentang kewenangan mengadili;
c. permohonan peninjauan kembali putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum
tetap.
Lebih jauh diatur dalam Pasal 29 bahwa Mahkamah Agung memutus permohonan kasasi terhadap putusan Pengadilan Tingkat Banding atau Tingkat Terakhir dari semua Lingkungan Peradilan. Jadi Mahkamah Agung tidak hanya memutus permohonan kasasi dari lingkungan peradilan umum saja, tapi juga dari lingkungan peradilan lainnya (peradilan agama, peradilan militer, peradilan tata usaha negara).
Friday, January 25, 2013
Jumlah Provinsi di Indonesia
Every living thing must grow. Kutipan itu sangat benar adanya.
Setiap makhluk hidup pasti/harus bertumbuh, jika tidak, makhluk itu tidak hidup.
Sama halnya dengan negara kita, Indonesia. Yang di dalamnya terdiri dari banyak kehidupan yang beraneka corak dan budaya. We grow as a nation.
Dari semua segi, Indonesia tumbuh dan berkembang.
Termasuk dari segi jumlah provinsi.
Dari zaman awal kemerdekaan Indonesia (1945), jumlah provinsi di Indonesia hanya terdiri dari 8 provinsi sebagai berikut:
1. Sumatra
2. Kalimantan
3. Sulawesi
4. Sunda Kecil
5. Maluku
6. Jawa Timur
7. Jawa Tengah
8. Jawa Barat
Seiring dengan perkembangannya, jumlah Provinsi di Indonesia bertambah, dari 8 menjadi 11 (1950), kemudian menjadi 13 (1956), menjadi 16 (1957), menjadi 20 (1959), menjadi 21 (1960), menjadi 22 (1963), menjadi 23 (1964), menjadi 25 (1969), menjadi 26 (1968), menjadi 26 (1976) dan seterusnya.
Yang saya ingat, waktu masih duduk di bangku Sekolah Dasar, saya harus menghapalkan jumlah Provinsi di Indonesia ada 27 Provinsi. Tapi pertumbuhan jumlah Provinsi ini tidak berhenti sampai disitu. Pada tahun 2004, jumlah Provinsi di Indonesia sudah menjadi 33. Dan masih banyak orang yang tidak mengetahuinya.
Sampai dengan tahun lalu, tahun 2012, jumlah Provinsi di Indonesia bertambah 1 lagi dengan dibentuknya Provinsi Kalimantan Utara, sebagai pemekaran dari Kalimantan Timur. Provinsi Kalimantan Utara ini dibentuk dengan UU No. 20 Tahun 2012 tentang Pembentukan Provinsi Kalimantan Utara.
Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 3 ayat (1) UU 20/2012, Provinsi Kalimantan Utara berasal dari sebagian wilayah Provinsi Kalimantan Timur yang terdiri dari:
a. Kabupaten Bulungan;
b. Kota Tarakan;
c. Kabupaten Malinau;
d. Kabupaten Nunukan; dan
e. Kabupaten Tana Tidung.
Dengan demikian, Provinsi yang ada di Indonesia saat ini adalah (34 Provinsi):
1. Sumatra Utara
2. Jambi
3. Sumatra Selatan
4. Riau
5. Sumatra Barat
6. Jawa Timur
7. Jawa Tengah
8. Jawa Barat
Setiap makhluk hidup pasti/harus bertumbuh, jika tidak, makhluk itu tidak hidup.
Sama halnya dengan negara kita, Indonesia. Yang di dalamnya terdiri dari banyak kehidupan yang beraneka corak dan budaya. We grow as a nation.
Dari semua segi, Indonesia tumbuh dan berkembang.
Termasuk dari segi jumlah provinsi.
Dari zaman awal kemerdekaan Indonesia (1945), jumlah provinsi di Indonesia hanya terdiri dari 8 provinsi sebagai berikut:
1. Sumatra
2. Kalimantan
3. Sulawesi
4. Sunda Kecil
5. Maluku
6. Jawa Timur
7. Jawa Tengah
8. Jawa Barat
Seiring dengan perkembangannya, jumlah Provinsi di Indonesia bertambah, dari 8 menjadi 11 (1950), kemudian menjadi 13 (1956), menjadi 16 (1957), menjadi 20 (1959), menjadi 21 (1960), menjadi 22 (1963), menjadi 23 (1964), menjadi 25 (1969), menjadi 26 (1968), menjadi 26 (1976) dan seterusnya.
Yang saya ingat, waktu masih duduk di bangku Sekolah Dasar, saya harus menghapalkan jumlah Provinsi di Indonesia ada 27 Provinsi. Tapi pertumbuhan jumlah Provinsi ini tidak berhenti sampai disitu. Pada tahun 2004, jumlah Provinsi di Indonesia sudah menjadi 33. Dan masih banyak orang yang tidak mengetahuinya.
Sampai dengan tahun lalu, tahun 2012, jumlah Provinsi di Indonesia bertambah 1 lagi dengan dibentuknya Provinsi Kalimantan Utara, sebagai pemekaran dari Kalimantan Timur. Provinsi Kalimantan Utara ini dibentuk dengan UU No. 20 Tahun 2012 tentang Pembentukan Provinsi Kalimantan Utara.
Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 3 ayat (1) UU 20/2012, Provinsi Kalimantan Utara berasal dari sebagian wilayah Provinsi Kalimantan Timur yang terdiri dari:
a. Kabupaten Bulungan;
b. Kota Tarakan;
c. Kabupaten Malinau;
d. Kabupaten Nunukan; dan
e. Kabupaten Tana Tidung.
Dengan demikian, Provinsi yang ada di Indonesia saat ini adalah (34 Provinsi):
1. Sumatra Utara
2. Jambi
3. Sumatra Selatan
4. Riau
5. Sumatra Barat
6. Jawa Timur
7. Jawa Tengah
8. Jawa Barat
9. Kalimantan Barat
10. Kalimantan Selatan
11. Kalimantan Timur
12. Kalimantan Tengah
13. Nanggro Aceh Darussalam
14. Nusa Tenggara Barat
15. Nusa Tenggara Timur
16. Bali
17. Sulawesi Utara
18. Sulawesi Selatan
19. Sulawesi Tengah
20. Sulawesi Tenggara
21. Sulawesi Barat
22. Kepulauan Riau
23. Bangka Belitung
24. Bengkulu
25. Lampung
26. DKI Jakarta
27. Banten
28. DI Yogyakarta
29. Maluku
30. Gorontalo
31. Maluku Utara
32. Papua
33. Papua Barat
34. Kalimantan Utara
Semoga bermanfaat menambah wawasan :)
Subscribe to:
Posts (Atom)