Wednesday, December 28, 2011

Tarif Advokat di Jakarta

Pada prinsipnya, honorarium jasa hukum advokat ditetapkan secara wajar berdasarkan persetujuan antara advokat dengan kliennya. Demikian ketentuan Pasal 21 ayat (2) UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat. Jadi, tidak ada standar atau tarif baku mengenai honorarium jasa hukum advokat.
 
Hal tersebut juga dibenarkan oleh advokat Ahmad Fikri Assegafpartner dari Assegaf Hamzah & Partners. Menurut Fikri, tidak ada standar yang baku tentang biaya jasa advokat dan skema pembayaran honorarium pun bisa berbeda antara advokat satu dengan yang lain. Umumnya, advokat menawarkan jasa hukum dua macam skema pembayaran yaitu;
-         lump sum (suatu jumlah pembayaran untuk beberapa jasa hukum tertentu yang ditawarkan); atau
-         hourly basis (dihitung per-jam).
 
Untuk kantor advokat di Jakarta, menurut Fikri, pada umumnya dapat dibagi menjadi dua kategori besar, yaitu:
-         Kantor advokat dengan lebih dari 10 advokat, biasanya menerapkan tarif hourly-basis. Biaya perjamnya ini sangat bervariasi. Tarifnya, dari yang didengar Fikri, kira-kira berkisar antara Rp500 ribu sampai dengan Rp10 juta perjam. Yang paling rendah adalah biaya untuk jasa advokat yang paling junior dan yang paling tinggi adalah untuk jasa advokat yang paling senior;
-         Kantor advokat sole-practitioner yaitu advokat yang praktek sendiri. Sole practitioner ini biasanya lebih fleksibel dalam penentuan biaya jasanya, melihat pada kasusnya dan jumlah yang dipertaruhkan misalnya dalam suatu sengketa. Sole practitioner ini pada umumnya di bidang litigasi, walaupun ada juga yang corporate. Untuk corporate mungkin akan lebih banyak menerapkan tarif hourly basis. Sedangkan untuk litigasi ini, biasa lebih diterapkan tarif lump sum, ada yang murah, ada juga yang mahal, bergantung perkaranya.
 
Jadi, pada dasarnya penentuan tarifnya adalah berdasarkan perkiraan advokat itu sendiri terkait seberapa banyak pekerjaan yang dilakukan dan seberapa tingkat kesulitan dari perkara yang akan ditangani. Untuk mengetahui biaya jasa ini tentunya harus menanyakan langsung kepada advokat yang bersangkutan.
 
Fikri juga mengingatkan bahwa ada juga faktor yang mungkin membuat mahal tarif advokat yaitu advokat yang memberikan tarif lump sum yang termasuk di dalamnya biaya-biaya “non-halal” seperti sogokan. Menurut Fikri, kalau di awal advokat sudah membicarakan mengenai sogokan, maka ia sarankan agar calon klien tidak mempercayai kualitas advokat tersebut. Terkait ini, dalam kode etik advokat dinyatakan bahwa advokat tidak dibenarkan membebankan klien dengan biaya-biaya yang tidak perlu (lihat Pasal 4 huruf e Kode Etik Advokat Indonesia).
 
Sementara itu, advokat Taufik Basaripartner kantor advokat Taufik Basari & Associates menambahkan bahwa terkait dengan biaya jasa advokat apabila klien memiliki keterbatasan dana, ada biaya-biaya yang bisa ditekan misalnya biaya-biaya operasional. Hal ini dapat dilakukan dengan mengajak klien secara aktif turut serta menangani kasusnya sendiri seperti mengambil dan mengantar surat atau dokumen, mengurus perizinan, dan sebagainya. Intinya, menurut Taufik, klien dapat membantu melakukan hal-hal yang dapat dilakukan sendiri oleh klien guna menekan biaya jasa advokat. Hal-hal seperti itu bisa dikomunikasikan antara advokat dan klien untuk menyiasati keterbatasan dana klien.
Published via Hukumonline.com

Makna "Inter Alia"


Frasa “inter alia” memang cukup lazim di digunakan dalam sejumlah konvensi internasional. Mengenai definisinya, di*dalam situs Merriam-Webster.com dijelaskan bahwa inter alia berasal dari Bahasa Latin yang berarti among other things. Di dalam situs tersebut juga disebutkan bahwa frasainter alia diketahui pertama kali digunakan pada tahun 1665.

Definisi lebih teknis mengenai frasa inter alia dapat kita temukan dalam situs Legal-Explanations.com, yaitu
“Latin term for among other things. It is a phrase used in legal proceedings that few facts stated are only part of the entire facts or rules and not the entire thing.”

(terjemahan bebasinter alia merupakan frasa Latin untuk ‘di antara hal-hal lainnya’. Frasa ini digunakan dalam proses-proses hukum dimana beberapa fakta yang dikemukakan hanyalah sebagian dari keseluruhan fakta-fakta atau aturan-aturan dan bukan secara keseluruhan.)

Dari uraian di atas, maka dapat kita simpulkan bahwa inter alia berarti “antara lain”.

Mengenai penerapannya dalam sebuah instrumen hukum, kami berikan contohnya dari Statuta Roma Mahkamah Pidana Internasional (“Statuta Roma”)Pasal 81 ayat (3) huruf c (i) Statuta Roma yang berbunyi sebagai berikut:
“Under exceptional circumstances, and having regard, inter alia, to the concrete risk of flight, the seriousness of the offence charged and the probability of success on appeal, the Trial Chamber, at the request of the Prosecutor, may maintain the detention of the person pending appeal.”

Pasal tersebut diartikan (diambil dari Statuta Roma Mahkamah Pidana Internasional terbitan ELSAM, 2000, hal. 105):
Berdasarkan keadaan luar biasa, dan dengan mengingat, antara lain, risiko kongkrit bahwa orang itu melarikan diri, kegawatan pelanggaran yang dituduhkan dan kemungkinan berhasilnya permohonan banding, Kamar Pengadilan, atas permohonan Jaksa Penuntut, dapat mempertahankan penahanan orang tersebut sambil menunggu keputusan banding.

Dalam pasal tersebut disebutkan bahwa dalam keadaan luar biasa, Kamar Pengadilan atas permohonan Jaksa Penuntut dapat mempertahankan penahanan orang sambil menunggu putusan banding dengan mengingat antara lain:
a.         Risiko kongkrit bahwa orang itu melarikan diri;
b.         Tingkat kegawatan pelanggaran yang dituduhkan; dan
c.         Kemungkinan berhasilnya permohonan banding.

Contoh lain adalah dalam United Nations Convention Against Corruptions atau Konvensi Anti-Korupsi yang telah disahkan dengan UU No. 7 Tahun 2006. Frasa inter alia dapat kita temukan dalam Pasal 9 ayat (2) Konvensi Anti Korupsi sebagai berikut:

“Each State Party shall, in accordance with the fundamental principles of its legal system, take appropriate measures to promote transparency and accountability in the management of public finances. Such measures shall encompass, inter alia:
a)        Procedures for the adoption of the national budget;
b)        Timely reporting on revenue and expenditure;
c)        A system of accounting and auditing standards and related oversight;
d)        Effective and efficient systems of risk management and internal control; and
e)        Where appropriate, corrective action in the case of failure to comply with the requirements established in this paragraph.”

Dari pasal tersebut juga tampak bahwa frasa “inter alia” digunakan untuk menyebutkan beberapa tindakan yang harus diambil oleh negara-negara peserta Konvensi untuk mempromosikan transparansi dan akuntabilitas dalam manajemen keuangan publik yaitu “antara lain” beberapa hal tersebut di atas.

Jadi, penggunaan “inter alia” adalah saat ada beberapa hal yang dikemukakan, namun tidak terbatas pada hal-hal yang disebutkan, untuk itu digunakanlah frasa “inter alia” atau “antara lain”.

Published via Hukumonline.com