Proses
peradilan yang memakan waktu dan tenaga (selain biaya) acapkali menimbulkan
keengganan tersendiri bagi para pihak yang menghadapi sengketa dengan pihak
lain. Mungkin belum banyak yang mengetahui atau memahami betul bahwa ada
mekanisme lain yang bisa ditempuh untuk penyelesaian sengketa yang umumnya
dikenal dengan “Alternative Disputes
Resolution”. Alternative Dispute
Resolution menawarkan beberapa mekanisme yang dapat ditempuh antara
lain mediasi, arbitrase dan konsiliasi. Dalam tulisan ini saya hanya akan
membahas sepintas mengenai arbitrase untuk sekedar memberikan gambaran umum
mengenai arbitrase. Semoga bermanfaat J
Arbitrase
adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang
didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para
pihak yang bersengketa.
Definisi
arbitrase menurut Black's Law Dictionary adalah: "Arbitration. an
arrangement for taking an abiding by the judgement of selected persons in some
disputed matter, instead of carrying it to establish tribunals of justice, and
is intended to avoid the formalities, the delay, the expense and vexation of
ordinary litigation".
Dalam proses Arbitrase diperlukan peran seorang arbiter. Arbiter
adalah seorang atau lebih yang dipilih oleh para pihak yang bersengketa atau
yang ditunjuk oleh Pengadilan
Negeri atau oleh lembaga arbitrase, untuk memberikan putusan
mengenai sengketa tertentu yang diserahkan
penyelesaiannya melalui arbitrase.
Di Indonesia, arbitrase diatur dalam UU No. 30
Tahun 1999 tentang Arbitrase. Berdasarkan ketentuan UU Arbitrase, sengketa
yang dapat diselesaikan melalui arbitrase hanya sengketa di bidang perdagangan
dan mengenai hak yang menurut hukum dan
peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak
yang bersengketa (misalnya: bidang perniagaan, perbankan, keuangan,
penanaman modal, industri dan hak milik Intelektual). Sengketa yang tidak dapat diselesaikan
melalui arbitrase adalah sengketa yang menurut peraturan perundang-undangan tidak dapat diadakan
perdamaian
Dalam hal suatu sengketa sudah
disepakati untuk diselesaikan melalui jalur arbitrase, Pengadilan
Negeri tidak berwenang untuk mengadili sengketa tersebut.
Dan ketika para
pihak telah menyetujui bahwa sengketa di antara mereka akan diselesaikan
melalui arbitrase dan para pihak telah
memberikan wewenang kepada arbiter, maka arbiter berwenang
menentukan dalam putusannya
mengenai hak dan kewajiban para pihak jika hal ini tidak diatur dalam
perjanjian mereka.
Persetujuan
untuk menyelesaikan sengketa melalui arbitrase umumnya diatur
dalam suatu dokumen yang ditandatangani oleh para pihak yakni sebuah perjanjian arbitrase. Dalam
hal kesepakatan untuk memilih penyelesaian
sengketa melalui arbitrase terjadi dalam bentuk pertukaran surat, maka pengiriman teleks, telegram,
faksimili, e-mail atau dalam bentuk sarana komunikasi lainnya, wajib disertai dengan suatu catatan penerimaan
oleh para pihak.
Arbitrase yang dipilih dapat berupa arbitrase sementara (ad-hoc) maupun arbitrase melalui lembaga
yang permanen. Di Indonesia saat ini ada lembaga independen yang memberikan
jasa beragam yang berhubungan dengan arbitrase, mediasi dan bentuk-bentuk lain
dari penyelesaian sengketa di luar pengadilan yakni BANI (Badan Arbitrase
Nasional Indonesia) yang lebih jauh bisa dicek di laman resminya: www.bani-arb.org
Meski proses
arbitrase memiliki kelebihan bahwa prosesnya lebih
cepat, rahasia
(confidential), final dan mengikat
serta efisien. Namun, proses arbitrase juga
masih memiliki kelemahan yakni:
a. Mekanisme ini
belum dikenal secara luas oleh masyarakat;
b. Kurangnya
budaya kesadaran dan itikad baik dari para pihak untuk melaksanakan putusan
dapat berakibat tertundanya atau tidak terlaksananya putusan arbitrase;
c. Putusan
arbitrase tidak mempunyai kekuatan untuk memaksa (daya paksa) dalam pelaksanaannya.
Pada dasarnya,
para pihak yang sengketanya diselesaikan melalui proses arbitrase harus
melaksanakan putusan secara sukarela. Namun, untuk suatu putusan arbitrase
dapat dipaksakan pelaksanaannya, putusan tersebut harus diserahkan dan
didaftarkan pada kepaniteraan pengadilan negeri dalam waktu 30 (tiga puluh)
hari setelah putusan arbitase diucapkan.