Thursday, February 14, 2013

Resensi Buku | Kiat-Kiat Cerdas, Mudah, dan Bijak Memahami Masalah Hukum Waris

Panduan Lengkap Hukum Praktis Populer
Kiat-Kiat Cerdas, Mudah, dan Bijak Memahami Masalah Hukum Waris
Penulis   : Irma Devita Purnamasari, SH., M.Kn.
Penerbit : Kaifa (PT. Mizan Pustaka)
Tahun    : 2012
Total halaman : xxiii + 232

Siapa ya yang berhak atas warisan kakek saya? Apakah anak dari paman dan tante saya berhak atas warisan juga? Bagaimana jika pewaris tidak mempunyai anak? Bagaimana dengan hak mewaris istri kedua? Berbagai pertanyaan tersebut mungkin sering ditemui di masyarakat. Irma Devita hadir menjawab berbagai pertanyaan seputar hukum waris di masyarakat dengan penjelasan yang komprehensif melalui bukunya yang diterbitkan pada bulan Desember 2012 kemarin.

Mengapa pengetahuan mengenai hukum waris ini penting untuk diketahui masyarakat awam? Selain karena pewarisan adalah masalah hukum sehari-hari yang akan terus-menerus dihadapi oleh kita semua, di Indonesia berlaku 3 (tiga) sistem hukum waris yang juga dijelaskan dalam buku Irma ini yaitu; (1) sistem hukum Waris Perdata Barat, (2) sistem hukum Waris Adat, juga ada (3) sistem hukum Waris Islam. Mungkin kedengarannya tidak mudah, tapi Irma mampu menjelaskannya kepada pembaca dengan bahasa yang mudah dipahami.

Hal ini menjadi ciri khas buku Irma, seperti halnya buku-buku Irma yang sebelumnya, penyampaian materi hukum waris dalam buku ini disampaikan dengan lugas, ringan, mudah dibaca dan dicerna bahkan oleh orang awam yang tak mendalami ilmu hukum. Bagi yang belum mengetahui buku-buku Irma sebelumnya, ada:
1.    Kiat-Kiat Cerdas, Mudah, dan Bijak Mengatasi Masalah Hukum Pertanahan;
2.    Kiat-Kiat Cerdas, Mudah dan Bijak Mendirikan Badan Usaha;
3.    Kiat-Kiat Cerdas, Mudah dan Bijak Memahami Masalah Akad Syariah;
4.    Kiat-Kiat Cerdas, Mudah dan Bijak Memahami Masalah Hukum Jaminan Perbankan;
5.    Kicauan Praktisi @irmadevitacom seputar Perseroan Terbatas.

Dalam buku ini, satu per satu Irma mengulas berbagai sistem hukum waris yang berlaku di Indonesia, mulai dari konsep dasarnya, skema pewarisan berdasarkan pembagian golongan waris bahkan juga dilengkapi dengan skema gambar yang dapat memberikan visualisasi mengenai pewarisan dalam berbagai variasi kasus, juga bagan pembagian golongan waris.
  
Mengutip sedikit ulasan Irma dalam buku ini, Irma menjelaskan bahwa “sistem kewarisan menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata atau biasa disebut “waris barat” terutama adalah berlaku bagi Warga Negara Indonesia yang beragama selain Islam atau bagi yang beragama Islam namun menundukkan diri ke dalam hukum pewarisan barat. Dari tiga sistem kewarisan yang berlaku, yang paling sering dihadapi oleh praktisi notaris adalah sistem Waris Barat karena notaris hanya berwenang membuat Surat Keterangan Waris untuk golongan penduduk keturunan Tionghoa saja. Untuk WNI Pribumi, kewenangannya ada pada lurah hingga camat atau Pengadilan Agama (jika ada sengketa), sedangkan untuk keturunan Timur Asing (India, Pakistan, dll) dibuat oleh Balai Harta Peninggalan (BHP). Sedangkan perkara pembagian waris menurut hukum Waris Islam ditangani oleh Pengadilan Agama dalam bentuk Fatwa Waris.” (hal. 1)

Dalam beberapa halaman, Irma juga memberikan catatan penting untuk diperhatikan oleh Notaris dalam bagian yang ditulisnya “Penting bagi Notaris”. Tentunya catatan-catatan tersebut diberikan berdasarkan pengetahuan yang mumpuni dan segudang pengalaman yang dimiliki oleh Notaris sekaligus Ibunda dari Khalida Rachmawati ini.

Tentu dalam buku dengan 12 Bab ini tidak hanya membahas mengenai sistem hukum waris yang berlaku di Indonesia, dalam buku ini juga diuraikan mengenai hibah dan hibah wasiat, hal-hal mengenai keterangan waris, waris bagi anak luar kawin, waris bagi anak adopsi, waris bagi istri kedua, ketiga, keempat, pewarisan dan kaitannya dengan badan usaha, waris dalam perkawinan campuran dan masih banyak lagi hal-hal praktis yang dibahas dalam buku ini terkait dengan pewarisan.

Ketika menemui istilah-istilah yang tidak kita mengerti seperti anak sumbang, Baitul Mal, Hereditatis Petitio, tidak perlu panik dan tidak perlu buru-buru membuka kamus karena Irma sudah menyediakan daftar istilah yang dilengkapi dengan uraian pengertian dari istilah-istilah tersebut pada bagian akhir dari buku ini.

Sebelum menutup uraiannya mengenai hukum waris di Indonesia, Irma melengkapi tulisannya dengan Kesimpulan dan Bagan Perbandingan Hukum Waris Islam dengan Hukum Waris Barat. Sangat menarik dan memudahkan pembaca memahaminya.

Buku ini dilengkapi dengan CD (compact disc) yang berisi peraturan perundang-undangan yang terkait dengan hukum waris dan blanko serta contoh surat. Buku ini sudah dapat diperoleh di toko-toko buku seperti Gramedia, dan saya mengucapkan selamat membaca, semoga dapat memetik manfaat dari buku ini.

Tulisan ini saya dedikasikan untuk Mba Irma Devita, terima kasih atas ilmunya yang dibagikan ke saya, dan atas persahabatan yang terjalin. Semoga makin sukses ya Mba. I'm proud of u! :) 

Thursday, February 7, 2013

Peradilan Tata Usaha Negara


Ketentuan mengenai Peradilan Tata Usaha Negara ini diatur dalam UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara sebagaimana telah diubah dengan UU No. 9 Tahun 2004 dan terakhir diubah dengan UU No. 51 Tahun 2009.

Tata Usaha Negara (TUN) adalah administrasi negara yang melaksanakan fungsi untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan baik di pusat maupun di daerah. Urusan TUN ini dilaksanakan oleh Badan atau para pejabat Tata Usaha Negara yang dalam melaksanakan urusannya itu, mereka memiliki kewenangan untuk mengeluarkan Keputusan Tata Usaha Negara.

Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata usaha negara yang berisi tindakan hukum tata usaha negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkret, individual, dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.

Namun ada beberapa keputusan yang tidak termasuk dalam pengertian Keputusan Tata Usaha Negara menurut UU Peradilan Tata Usaha Negara, yakni:
(a).    Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan perbuatan hukum perdata;
(b).   Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan pengaturan yang bersifat umum;
(c).    Keputusan Tata Usaha Negara yang masih memerlukan persetujuan;
(d).   Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan berdasarkan ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana atau peraturan perundangundangan lain yang bersifat hukum pidana;
(e). Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan atas dasar hasil pemeriksaan badan peradilan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
(f).    Keputusan Tata Usaha Negara mengenai tata usaha Tentara Nasional Indonesia;
(g).   Keputusan Komisi Pemilihan Umum baik di pusat maupun di daerah mengenai hasil pemilihan umum.

Dikeluarkannya suatu KTUN bisa saja menimbulkan sengketa yakni antara orang atau badan hukum perdata dengan badan atau pejabat tata usaha negara, baik di pusat maupun di daerah. Sengketa TUN ini juga termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Dalam hal ada orang atau badan hukum perdata yang merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu Keputusan Tata Usaha Negara, orang atau badan hukum perdata tersebut dapat mengajukan gugatan tertulis kepada Pengadilan Tata Usaha Negara yang berwenang yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan tergugat.

Apabila tergugat lebih dari satu Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara dan berkedudukan tidak dalam satu daerah hukum Pengadilan, gugatan diajukan kepada Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan salah satu Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara.

Atau apabila tempat kedudukan tergugat tidak berada dalam daerah hukum Pengadilan tempat kediaman penggugat, maka gugatan dapat diajukan ke Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman penggugat untuk selanjutnya diteruskan kepada Pengadilan yang bersangkutan.

Selain itu, dalam hal-hal tertentu sesuai dengan sifat sengketa Tata Usaha Negara yang bersangkutan yang diatur dengan Peraturan Pemerintah, gugatan dapat diajukan kepada Pengadilan yang berwenang yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman penggugat.
Sedangkan apabila penggugat dan tergugat berkedudukan atau berada di luar negeri, gugatan diajukan kepada Pengadilan di Jakarta. Apabila tergugat berkedudukan di dalam negeri dan penggugat di luar negeri, gugatan diajukan kepada Pengadilan di tempat kedudukan tergugat.

Gugatan yang diajukan berisi tuntutan agar Keputusan Tata Usaha Negara yang disengketakan itu dinyatakan batal atau tidak sah, dengan atau tanpa disertai tuntutan ganti rugi dan/atau direhabilitasi. Dan alasan-alasan yang dapat digunakan dalam gugatan tersebut adalah:
(a).  Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
(b).  Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik.

Patut diperhatikan bahwa gugatan hanya dapat diajukan hanya dalam tenggang waktu sembilan puluh hari terhitung sejak saat diterimanya atau diumumkannya Keputusan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara.

Pada dasarnya pengajuan gugatan tidak menunda atau menghalangi dilaksanakannya Keputusan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara serta tindakan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang digugat. Tapi, penggugat dapat mengajukan permohonan agar pelaksanaan Keputusan Tata Usaha Negara itu ditunda selama pemeriksaan sengketa Tata Usaha Negara sedang berjalan, sampai ada putusan Pengadilan yang memperoleh kekuatan hukum tetap. Permohonan penundaan pelaksanaan KTUN tersebut dapat diajukan sekaligus dalam gugatan dan dapat diputus terlebih dahulu dari pokok sengketanya.

Dalam hal bersama gugatan diajukan pula permohonan penundaan pelaksanaan KTUN, permohonan:
(a). dapat dikabulkan hanya apabila terdapat keadaan yang sangat mendesak yang mengakibatkan kepentingan penggugat sangat dirugikan jika Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu tetap dilaksanakan;
(b). tidak dapat dikabulkan apabila kepentingan umum dalam rangka pembangunan mengharuskan dilaksanakannya keputusan tersebut.

Pemeriksaan di PTUN adalah terbuka untuk umum kecuali sengketa yang disidangkan menyangkut ketertiban umum atau keselamatan negara, persidangan dapat dinyatakan tertutup untuk umum.

Terhadap sengketa TUN yang diajukan ke PTUN, putusan Pengadilan dapat berupa:
(a).    gugatan ditolak;
(b).   gugatan dikabulkan;
(c).    gugatan tidak diterima;
(d).   gugatan gugur

Dalam hal gugatan dikabulkan, maka dalam putusan Pengadilan tersebut dapat ditetapkan kewajiban yang harus dilakukan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkan Keputusan Tata Usaha Negara, yakni berupa:
(a).    pencabutan Keputusan Tata Usaha Negara yang bersangkutan; atau
(b).   pencabutan Keputusan Tata Usaha Negara yang bersangkutan dan menerbitkan Keputusan Tata Usaha Negara yang baru; atau
(c).    penerbitan Keputusan Tata Usaha Negara dalam hal gugatan didasarkan pada Pasal 3*.


*Bunyi Pasal 3
(1)     Apabila Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tidak mengeluarkan keputusan, sedangkan hal itu menjadi kewajibannya,maka hal tersebut disamakan dengan Keputusan Tata Usaha Negara.
(2)  Jika suatu Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tidak mengeluarkan keputusan yang dimohon, sedangkan jangka waktu sebagaimana ditentukan data peraturan perundang-undangan dimaksud telah lewat,maka Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tersebut dianggap telah menolak mengeluarkan keputusan yang dimaksud.
(3)     Dalam hal peraturan perundang-undangan yang bersangkutan tidak menentukan jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), maka setelah lewat jangka waktu empat bulan sejak di terimanya permohonan,Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang bersangkutan dianggap telah mengeluarkan keputusan penolakan.

Monday, February 4, 2013

Peradilan Agama


Peradilan Agama merupakan salah satu pelaku kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara tertentu sebagaimana dimaksud dalam UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama sebagaimana telah diubah dengan UU No. 3 Tahun 2006 dan terakhir diubah dengan UU No. 50 Tahun 2009.

Sesuai Pasal 49 UU Peradilan Agama, Pengadilan agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang:
a. perkawinan;
b. waris;
c. wasiat;
d. hibah;
e. wakaf;
f. zakat;                                       
g. infaq;
h. shadaqah; dan
i. ekonomi syari'ah.
                    
Hukum Acara yang berlaku pada Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama adalah Hukum Acara Perdata yang berlaku pada Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum, kecuali yang telah diatur secara khusus dalam UU Peradilan Agama.

Tiap pemeriksaan perkara di Pengadilan dimulai sesudah diajukannya suatu permohonan atau gugatan dan pihak-pihak yang berperkara telah dipanggil menurut ketentuan yang berlaku. Dan Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak atau kurang jelas, melainkan wajib memeriksa dan memutusnya. Dalam hal adanya pengajuan gugatan, tidak menutup kemungkinan dilakukannya usaha penyelesaian perkara secara damai.

Proses peradilan di pengadilan agama dilakukan dengan sederhana, cepat, dan biaya ringan dan pemeriksaannya dilakukan secara terbuka untuk umum, kecuali apabila undang-undang menentukan lain atau jika Hakim dengan alasan-alasan penting yang dicatat dalam berita acara sidang, memerintahkan bahwa pemeriksaan secara keseluruhan atau sebagian akan dilakukan dengan sidang tertutup. Namun, dalam penyampaian putusan di Pengadilan Agama, penetapan dan putusan Pengadilan hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum apabila diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum.

Atas penetapan dan putusan Pengadilan Agama dapat dimintakan banding oleh pihak yang berperkara, kecuali apabila undang-undang menentukan lain. Kemudian atas penetapan dan putusan Pengadilan Tinggi Agama juga dapat dimintakan kasasi kepada Mahkamah Agung oleh pihak yang berperkara.

Terhadap penetapan dan putusan Pengadilan yang dimintakan banding atau kasasi, pelaksanaannya ditunda demi hukum, kecuali apabila dalam amarnya menyatakan penetapan atau putusan tersebut dapat dijalankan lebih dahulu meskipun ada perlawanan, banding, atau kasasi.

Hak Cipta


Frasa hak cipta terdiri dari dua kata, yakni hak dan cipta. Sehingga, dapat diartikan hak cipta adalah hak yang dimiliki seorang pencipta atas suatu ciptaannya. Ciptaan adalah hasil setiap karya pencipta dalam bentuk yang khas dan menunjukkan keasliannya dalam lapangan ilmu pengetahuan, seni dan sastra.
Pada awal mulanya istilah untuk hak cipta yang dikenal adalah hak pengarang sesuai dengan terjemahan harfiah bahasa Belanda, yakni Auteursrecht. Baru pada Kongres Kebudayaan Indonesia ke-2, Oktober 1951 di Bandung, penggunaan istilah hak pengarang dipersoalkan karena dipandang menyempitkan pengertian hak cipta. Jika istilah yang dipakai adalah hak pengarang, seolah-olah yang diatur hak cipta hanyalah hak-hak dari pengarang saja dan hanya bersangkut paut dengan karang mengarang saja, sedangkan cakupan hak cipta jauh lebih luas dari hak-hak pengarang. Oleh karena itu, Kongres Kebudayaan Indonesia pada saat itu memutuskan untuk mengganti istilah hak pengarang dengan istilah hak cipta. Istilah ini merupakan istilah yang diperkenalkan oleh ahli bahasa Soetan Moh. Syah dalam suatu makalah pada waktu Kongres. Menurutnya, terjemahan Auteursrecht adalah Hak Pencipta, tetapi untuk tujuan penyederhanaan dan kepraktisan disingkat menjadi Hak Cipta.
Beranjak dari terminologi hak cipta, hak cipta itu sendiri timbul karena ada pencipta dan ada suatu karya cipta atau ciptaan. Dari mana ciptaan itu lahir? Mengutip kalimat yang tertulis pada langit-langit kubah atap bangunan Markas Besar WIPO di Geneva yang dirangkum oleh Arpad Bogsch, Direktur Jenderal WIPO yang dibaca oleh Eddy Damian pada kunjungan penelitiannya ke Geneva, tertulis sebagai berikut:
Human genius is the source of all works, of art and inventions. These works are the guarantee of a life worthy of men. It is the duty of the state to ensure with diligence the protection of the arts and inventions.

Berangkat dari kerangka pemikiran bahwa ciptaan merupakan hasil intelektual (human genius) atau olah pikir manusia, sudah sewajarnya apabila negara menjamin sepenuhnya perlindungan terhadap segala macam ciptaan yang merupakan karya intelektual manusia. Dasar pemikiran perlu adanya perlindungan hukum terhadap ciptaan ini tidak terlepas dari dominasi pemikiran Doktrin Hukum Alam yang menekankan pada faktor manusia dan penggunaan akal seperti yang dikenal dalam Civil Law system yang merupakan sistem hukum yang dianut di Indonesia.
Sistem perlindungan hak cipta ini memberikan perlindungan terhadap nilai ekonomis suatu ciptaan ketika dilakukan eksploitasi terhadap suatu ciptaan dengan cara menggandakan (copying), pertunjukan secara publik (public performance), pengumuman atau penggunaan lainnya. Hak cipta yang juga dikenal dalam bahasa Inggris sebagai copyright juga meliputi sejumlah hak sebagaimana diatur dalam hukum yang berlaku. Diharapkan dengan adanya perlindungan secara hukum terhadap hak cipta, pencipta dapat menikmati nilai ekonomis dari ciptaannya secara optimal.
Telah disebutkan sebelumnya bahwa hak cipta ini berkaitan erat dengan intelektualitas manusia berupa hasil kerja otak. Akan tetapi, lebih jauh dijelaskan oleh Hulman Panjaitan dan Wetmen Sinaga bahwa hak cipta hanya diberikan kepada ciptaan yang sudah berwujud atau berupa ekspresi yang sudah dapat dilihat, dibaca, didengarkan dan sebagainya. Ditegaskan bahwa hukum hak cipta tidak melindungi ciptaan yang masih berupa ide. Agar mendapat perlindungan hak cipta, suatu ide perlu diekspresikan terlebih dahulu. Ide yang masih abstrak dan belum pernah diekspresikan tidaklah dilindungi oleh hukum hak cipta. Berikut penjelasan Hulman Panjaitan dan Wetmen Sinaga:
“Dapat ditegaskan bahwa adanya suatu bentuk yang nyata dan berwujud (expression) dan sesuatu yang berwujud itu adalah asli (original) atau bukan hasil plagiat merupakan syarat yang harus dipenuhi untuk dapat menikmati perlindungan hukum hak cipta. Sebuah lagu (ada syair dan melodi) yang dinyanyikan seseorang secara spontan dan kemudian suara dan syair yang terucapkan hilang ditelan udara tidak mendapat hak cipta. Akan tetapi, kalau lagu itu direkam (dalam pita rekaman) atau dituliskan dan terbukti tidak sebagai jiplakan, barulah mendapat perlindungan hak cipta.”
 Indonesia memang menganut sistem hukum Civil Law, namun dalam hal perlindungan terhadap hak cipta ini, secara universal negara-negara dengan sistem common law maupun civil law pada dasarnya menggunakan prinsip-prinsip dasar yang sama dalam memberikan perlindungan hak cipta. Kedua sistem ini mendasarkan teorinya pada penggunaan akal atau nalar sehingga hukum dianggap sebagai karya akal atau nalar.
Beberapa prinsip yang sama dalam sistem hukum common law maupun civil law terkait dengan perlindungan hak cipta antara lain:
1.        Yang dilindungi hak cipta adalah ide yang telah berwujud dan asli.
Dari prinsip ide yang berwujud atau fixation of idea ini dapat diperoleh beberapa prinsip turunan, yaitu: 
a.     Suatu ciptaan harus mempunyai keaslian (nilai orisinalitas) untuk seorang pencipta dapat menikmati hak-hak yang diberikan undang-undang. Unsur keaslian ini sangat erat hubungannya dengan bentuk perwujudan suatu ciptaan. Oleh karena itu, suatu ciptaan baru dapat dianggap asli jika bentuk perwujudannya bukanlah merupakan jiplakan (plagiat) dari ciptaan lain yang telah diwujudkan sebelumnya. Terkait keaslian suatu ciptaan ini, seorang penulis Belanda, Herald D.J. Jongen mengemukakan sebagai berikut:
“Article 10 of the Copyright Act (the Netherlands) provides that works are all literary, scientific or artistic products. Although Copyright Act does not mention any condition for protection, only “original” products are considered works. The only exception to this rule are writings which are protected even in the absence of any originality.”

  1. Suatu ciptaan, mempunyai hak cipta jika ciptaan yang bersangkutan diwujudkan (fixation) dalam bentuk tulisan atau bentuk material yang lain. Hal ini berarti bahwa suatu ide yang tidak diwujudkan dan hanya berupa ide saja belum dapat dikatakan sebagai suatu ciptaan dan belum dilindungi oleh hak cipta.
  2. Hak cipta merupakan hak eksklusif dari pencipta atau penerima hak cipta untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya (sesuai Pasal 2 ayat [1] UUHC). Ini berarti tidak ada orang lain yang boleh mengumumkan atau memperbanyak suatu ciptaan tanpa izin dari pencipta atau penerima hak cipta. Dengan kata lain, hak ekslusif ini mengandung pengertian “monopoli terbatas” terhadap suatu ciptaan.

2.        Hak cipta timbul dengan sendirinya (otomatis)
Pendaftaran suatu ciptaan ke Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual bukanlah suatu keharusan untuk suatu ciptaan mendapat perlindungan. Namun, memang jika pendaftaran ini dilakukan akan lebih memudahkan pembuktian kepemilikan hak cipta oleh pencipta jika suatu hari terjadi sengketa kepemilikan hak cipta atas suatu ciptaan. Misalnya, jika suatu hari ada orang lain yang mengklaim ciptaan buku X adalah ciptaannya, padahal A adalah penciptanya dan sudah mendaftarkannya. Terhadap sengketa ini akan lebih mudah pembuktiannya mengenai siapa pencipta sesungguhnya dari buku X. Hal itu berarti suatu ciptaan baik yang terdaftar maupun yang tidak terdaftar tetap dilindungi.

3.        Suatu ciptaan tidak selalu perlu diumumkan untuk memperoleh hak cipta.
Terhadap suatu ciptaan, baik diumumkan atau tidak diumumkan, keduanya dapat memperoleh perlindungan hak cipta. Contohnya, ketika seorang pelukis membuat suatu lukisan dan hanya disimpan di kamarnya tanpa dipertunjukkan atau dipamerkan, pelukis tersebut memegang hak cipta atas lukisan tersebut. Contoh lain untuk ciptaan yang hak ciptanya baru timbul ketika ciptaan itu diumumkan adalah  pada lay out karya tulis (typhograpgical arrangement) (Pasal 12 [1] a UUHC). Yang dimaksud dengan typhograpgical arrangement adalah aspek seni atau estetika pada susunan dan bentuk karya tulis yang mencakup antara lain format, hiasan, warna dan susunan atau tata letak huruf yang secara keseluruhan menampilkan wujud yang khas yang biasanya dikerjakan/diciptakan oleh penerbit sebuah buku. Suatu typhographical arrangement baru dilindungi hak ciptanya setelah penerbitan dilakukan (dalam hal ini berarti dilakukan pengumuman).
4.        Hak cipta suatu ciptaan merupakan suatu hak yang diakui hukum (legal right) yang harus dipisahkan dan harus dibedakan dari penguasaan fisik suatu ciptaan. Yang dimaksud dalam poin ini akan dijelaskan melalui contoh, yakni, Anton membeli sebuah kaset berisi lagu dari penyanyi ternama, bukan berarti Anton adalah pemilik hak cipta karena membeli karya lagu tersebut. Jika Anton memperbanyak lagu dan dijual untuk kepentingan komersial, maka Anton melanggar hak cipta.

5.        Hak cipta bukan hak mutlak (absolut)
Disebutkan dalam Pasal 1 ayat (1) UUHC bahwa:
Hak Cipta adalah hak eksklusif bagi Pencipta atau penerima hak untuk mengumumkan atau memperbanyak Ciptaannya atau memberikan izin untuk itu dengan tidak mengurangi pembatasan-pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.”
           
Dapat kita lihat dari ketentuan tersebut di atas bahwa hak cipta bukanlah bersifat absolut, karena hak cipta juga dibatasi oleh undang-undang. Selain itu, hak cipta juga tidak menganut monopoli mutlak, tapi hanya menganut monopoli terbatas. Hal ini dikarenakan adanya kemungkinan terjadinya suatu ciptaan yang diciptakan pada waktu yang sama dan merupakan ciptaan yang sama. Dalam hal yang demikian, tidak terjadi pelanggaran hak cipta.


Pelaksana Kekuasaan Kehakiman di Indonesia

Seminggu yang lalu, seorang teman menghubungi saya karena sedang menghadapi "masalah hukum".
Saya tidak akan membahas kasusnya apa disini, tapi dia menanyakan proses yang harus dia lalui karena sudah ada gugatan yang masuk ke Pengadilan Negeri. Saya jelaskan tahapan-tahapannya setelah gugatan hingga memperoleh putusan dan bilamana bisa sampai ke Mahkamah Agung.

Dari diskusi saya dengan teman saya tersebut, tampak bahwa sebenarnya masyarakat awam banyak yang belum memahami sistem peradilan di Indonesia. That's why they need lawyer, don't they? :p

Nah, disini saya hanya ingin membagikan kepada masyarakat awam sedikit pengetahuan hukum untuk mencapai masyarakat Indonesia yang "melek hukum". Maaf, pinjam istilah dari @klinikhukum tempat saya dulu bekerja :D

Ketika seseorang mengalami persoalan hukum dan hendak menyelesaikannya melalui jalur hukum di pengadilan, misalnya untuk kasus perdata atau pidana umum, ada beberapa tingkat peradilan yang bisa ditempuh oleh para pencari keadilan, yaitu:
1. Pengadilan Negeri - sebagai tingkat pertama
2. Pengadilan Tinggi - sebagai tingkat kedua (untuk proses banding)
3. Mahkamah Agung - sebagai tingkat pengadilan tertinggi (untuk proses kasasi)

Sesuai ketentuan UU No. 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum sebagaimana terakhir diubah dengan UU No. 49/2009, Pengadilan Negeri bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara pidana dan perkara perdata di tingkat pertama (Pasal 50).
Ketika majelis hakim Pengadilan Negeri sudah mengeluarkan putusan namun tidak diterima oleh salah satu/para pihak, maka selanjutnya pihak yang keberatan dengan putusan tersebut bisa mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi.

Kemudian Pengadilan Tinggi memiliki tugas dan wewenang mengadili perkara pidana dan perkara perdata di tingkat banding (Pasal 51 ayat [2]). Di samping itu, Pengadilan Tinggi juga bertugas dan berwenang mengadili di tingkat pertama dan terakhir sengketa kewenangan mengadili antar Pengadilan Negeri di daerah hukumnya.

Namun, ketika melalui mekanisme banding di Pengadilan Tinggi salah satu/para pihak belum bisa menerima putusan pengadilan tinggi, maka kasasi dapat diajukan ke Mahkamah Agung, yang tugas dan kewenangannya diatur dalam UU No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU No. 3/2009.


Tugas dan wewenang Mahkamah Agung ini diatur di Pasal 28 ayat (1) UU 14/1985:
Mahkamah Agung bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus:
a. permohonan kasasi;
b. sengketa tentang kewenangan mengadili;
c. permohonan peninjauan kembali putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum
tetap.

Lebih jauh diatur dalam Pasal 29 bahwa Mahkamah Agung memutus permohonan kasasi terhadap putusan Pengadilan Tingkat Banding atau Tingkat Terakhir dari semua Lingkungan Peradilan. Jadi Mahkamah Agung tidak hanya memutus permohonan kasasi dari lingkungan peradilan umum saja, tapi juga dari lingkungan peradilan lainnya (peradilan agama, peradilan militer, peradilan tata usaha negara).